teddibelajarbersyukur
Belajar, Bersyukur, Bekerja
 
Tuesday, November 28, 2006
Bakso Bang Eric
Jum'at malam. Aku mampir ke Gramedia Matraman sepulang kantor. Kondisi perut belum terisi, aku pun teringat ada penjual bakso yang cukup enak di toko buku itu: "Bakso Bang Eric". "Bakso 2, pakai mihun, yang satu pakai bakso telur yang satu lagi biasa ya Bang," ucapku memesan seperti biasa. Tidak sampai 5 menit, pesananku pun diantar dan air liurku tak tertahankan ketika aku mendahuluinya dengan ritual mencampurkan saus, kecap, dan sambal. Seolah tak sabar bekerja, perut pun menggeliat meminta ritual itu segera kusudahi saja. Aku menurut, kemudian memulainya dengan menyantap mi terlebih dulu. Persis seperti gaya makan ayahku, save the best for last. Bakso yang nikmat itu selalu kujadikan penutup sehingga aku bisa mengingat rasanya sampai paling tidak beberapa jam kemudian.

Sedang asyik-asyiknya, tiba-tiba seseorang berseru, "Ada Kamtib! Ada Kamtib!" Para penjual pun panik, dan bergegas membereskan barang dagangannya. Sedikit beruntung bagi Bang Eric, ia memiliki cukup banyak tim untuk bergerak cepat memindahkan segala sesuatunya ke pelataran sebuah gedung di belakang tempatnya berjualan. Cukup berat bagi ibu penjual soto di sebelahnya, sendirian ia harus berkemas sebelum kehilangan gerobak satu-satunya penopang penghidupannya itu. Aku sedikit panik, namun segera reda melihat beberapa pembeli yang juga tenang. "Toh, kita kan pembeli. Masak mau ditangkap juga," pikirku. Namun melihat kondisi yang kacau, diselingi dengan bunyi beberapa piring dan mangkok yang pecah terjatuh karena terburu-buru, mangkuk bakso pun kubawa ke tempat mereka mengungsi sementara.

Sembari duduk menghabiskan baksoku yang sudah berkurang kenikmatannya, pandanganku tertuju pada para pedagang itu. Sebuah pertanyaan mencuat dalam benakku: seberapa seringkah mereka mengalami hal seperti ini? Terkenang peristiwa tahun 1998 lalu, cukup banyak isu mengenai akan adanya penyerangan pada suatu tempat namun tidak pernah terbukti. Bukan tidak mungkin hal seperti itu pun terjadi pada para pedagang ini. Mereka yang sehari-harinya berada dalam ketidakpastian akan datangnya pelanggan, pelanggan yang menurun drastis akibat hujan deras, isu bakso tikus dan formalin, sampai resiko setiap saat digrebek Kamtib, tampak begitu rapuh di hadapanku. Sejenak kepalaku tertunduk menatap potongan bakso terakhir, dan suatu perasaan haru muncul dalam hati: duhai bakso nikmat di hadapanku, seberat ini kah perjuanganmu hanya untuk sesaat menghadirkan kekenyalan dalam mulutku?

Pikiranku pun melayang mulai dari warung pinggir jalan tempat aku membeli teh botol saat kehausan sampai ke penjual somay langgananku. Betapa setiap tetes yang menghilangkan dahagaku dan setiap suap yang melenyapkan laparku berisi tetesan keringat orang-orang yang berlarian menjajakannya. Bahkan para produsen barang jajaan mereka pun barangkali tidak pernah menyadari bahwa pundi-pundi mereka bisa terisi penuh karena sandal jepit butut itu mondar mandir kesana kemari demi menyambung hidup mereka.

Menghela napas, suapan terakhir pun masuk dan kukunyah penuh kenikmatan. Tegukan teh botol terakhir menuntaskannya tak lama setelah itu. Kuambil selembar uang dan kuberikan pada salah seorang dari mereka sembari mengembalikan mangkuk. "Bakso 2, teh botol 2," jelasku. Kutinggalkan ia ketika secara tergesa ia berusaha merogoh kantung untuk mengambil uang kembalian.

Terima kasih Bang Eric...

Read more!
posted by Rumah Kiyut 9:05 AM   2 comments
 
2 Comments:
  • At 7:56 AM, Anonymous Anonymous said…

    ehmmm you have a great sensitivity... kadang ku berpikir bukankah masing2 orang bekerja dengan "definisi kerasnya" mereka masing-masing? kalau mereka berlarian dengan sandal jepitnya, kamupun berlarian di pagi buta untuk sampai di kantor, kamu menahan amarah ketika macet, kamu bekerja menahan "idealisme"... terbayang deh sudah bagaimana atasanmu akan tersenyum bangga menatap hasil kerjamu dengan membayangkan bagaimana effortmu utk menghasilkannya :) ;) ;P

     
  • At 10:10 PM, Anonymous Anonymous said…

    viagra
    is the best thing for me. I'm a frequent user and it never let me down.

     
Post a Comment
<< HOME

Wednesday, November 15, 2006
Pemimpin Indonesia
Beberapa hari belakangan aku 'terpaksa' naik mobil ke kantor setiap hari--sebuah kebiasaan yang setahun ini berusaha aku minimalisasi demi meningkatkan frekuensi membaca (sehingga aku lebih memilih naik bis) dan tentunya efisiensi dari segi pengeluaran. Melewati Mampang menuju Warung Buncit orang-orang tentu sudah tidak heran dengan apa yang akan mereka lihat: sebuah proyek pembangunan busway yang menimbulkan macet plus resiko lecet bagi mereka yang kurang hati-hati dalam berkendara, sebab pengerjaannya yang agak ceroboh meninggalkan begitu saja pembongkaran jalan tanpa perlindungan yang berarti.

Hanya saja, satu pagi mataku terarah pada pemandangan yang merenyuhkan. Berangkat agak lebih awal waktu itu, jalanan yang sepi masih menjadi tempat yang nyaman bagi beberapa orang pekerja proyek untuk berbaring meringkuk di atas triplek dengan ditutupi sarung di area pengerjaan jalan. "Mereka tidur di tengah jalan?!" tanyaku tersentak. Ya. Tidak tampak adanya barak yang lazim dibangun setiap ada proyek besar di sekitar situ, dan disanalah mereka beristirahat setiap malam. Entah dimana mereka makan, entah dimana pula mereka berteduh dan beristirahat siang. Mereka yang selalu kulihat sekuat tenaga memukulkan palu dan mengangkat macam ragam alat berat rupanya tidak pernah disediakan 'rumah' yang layak untuk sekedar men-charge tenaga. Jalanan Jakarta menjadi rumah mereka, sebagaimana juga banyak orang yang menghabiskan sebagian besar waktunya di jalanan dalam kemacetan. Bedanya, yang satu nyaman dalam mobil ber-AC, yang lain ditiupi Angin Cemilir plus debu dan asap knalpot.

Aku pun teringat pernah cukup sering mendengar mantan pemimpin negeri ini ada yang disebut sebagai Bapak Pembangunan, karena dianggap berjasa (atau menganggap dirinya berjasa?) membangun banyak hal (baca: gedung bertingkat dan jalan-jalan utama). Sebuah pertanyaan pun muncul: benarkah pemimpin negeri ini adalah Bapak Pembangunan? Dengan lantang suara dari dalam hatiku pun menjawab: TIDAK!

Bukannya sok peduli pada rakyat kecil (sebab aku pun juga rakyat kecil), tapi bagiku kepemimpinan amat berbeda dengan keselebritisan. Benarkah Soekarno pemimpin? Ya, jawab beberapa orang yang berpandangan bahwa ia lah yang memiliki visi Indonesia menjadi bangsa yang merdeka. Pertanyaannya: apa yang terjadi jika tidak ada sekumpulan rakyat kecil yang dengan keluguan namun dengan ketulusan yang mendalam memberikan dukungan atas perjuangannya? Aku tidak yakin nama Soekarno akan pernah didengar oleh dunia. Benarkah Soeharto pemimpin? Ya, jika selama ini kita melihatnya sebagai orang yang sempat menorehkan sejarah dengan menjadikan perekonomian Indonesia 'tampak' cukup kuat plus bumbu nepotisme yang kental. Pertanyaannya: apa yang terjadi jika pada masa itu tidak ada seorang pun yang mau disuap dan diajak bekerja bersamanya untuk kemudian memilih jalannya masing-masing secara jujur dan lurus? Aku juga tidak yakin wajah presiden yang membanggakan dirinya sebagai anak petani itu (namun tidak berjiwa petani) akan pernah digambar di selembar uang terbitan BI dengan judul Bapak Pembangunan Indonesia. Melompat lebih sempit ke Jakarta, benarkah Sutiyoso pemimpin? Ya, jika kita hanya menikmati busway yang telah sekian lama mengitari koridor beberapa koridor. Pertanyaannya: apa yang terjadi, jika para pekerja yang tidur di tengah jalan Warung Buncit itu memperlambat kerjanya 1 jam sehari saja? Pekerjaan akan molor, protes akan semakin kencang, dan bukan tidak mungkin ia akan didemo turun jabatan sebelum waktunya. Masuk akal, mengingat prestasinya dalam menangani banjir dan kemacetan selama ini.

So, siapa sebenarnya yang jadi pemimpin disini? Sebuah pertanyaan yang tidak perlu dijawab bagiku. Kepemimpinan sejatinya berbeda dengan keselebritisan, meski keduanya seringkali berada pada satu individu yang sama. Masalahnya, yang dibutuhkan bangsa ini hanyalah kepemimpinan sejati, tok til, tanpa embel-embel yang lain. Sebuah kesadaran yang amat mendalam tentang potensi yang diberikan oleh Tuhan, sehingga ia akan berusaha sekuat tenaga untuk membuatnya teraktualisasi. Seorang pekerja proyek adalah pemimpin, ketika ia bekerja dengan seluruh kemampuannya secara total disertai keikhlasan dari dalam lubuk hati terdalam. Sebaliknya, seorang presiden sekalipun, hanyalah follower setia dari hawa nafsu kekuasaannya ketika ia membuat banyak keputusan semata-mata hanya untuk mencari keuntungan pribadi.

Well, kepemimpinan sebenarnya bukanlah hal yang terlalu muluk. Cukup pahami apa yang bisa kita perbuat, dan segera jalankan secara konsisten. Hmm...mau jadi pemimpin sekarang?

Read more!
posted by Rumah Kiyut 10:48 AM   1 comments
 
1 Comments:
  • At 8:19 PM, Blogger mukuge said…

    Dear Teddy, your points are really valid. Two thumbs up for you my friend :))

     
Post a Comment
<< HOME

Thursday, November 09, 2006
Level Cinta
Akhir pekan kemarin aku mendengar sebuah lagu yang dinyanyikan oleh Ronan Keating. Cukup sering kudengar sebenarnya, namun entah mengapa saat itu terasa ada hal yang berbeda kurasakan.

If tomorrow never comes
Will she know how much I love her

Begitu kira-kira lirik pada bagian refrain yang kuingat.

Lagu ini kurang lebih bercerita tentang love dengan orientasi giving. Cukup menarik dan menyentuh, karena sebagai seseorang yang mencintai, si penyanyi ingin menggambarkan pengabdian cinta (cieilah...) dengan keinginan yang sederhana: sekiranya tidak ada hari esok untukku, kira-kira dia tahu nggak ya kalau aku sudah berusaha sekuat tenaga untuk memberikan cintaku padanya? Memahami cinta sebagai sesuatu yang universal, lagu ini memiliki kasta cinta yang lebih tinggi daripada kisah cinta lain yang umumnya amat pamrih. Contoh, lagu milik Marcel ini:

Aku kan setia
Bila memang kau pun setia


Atau lagu berikut ini:

Sesungguhnya, ku tak rela
Jika kau tetap bersama dirinya

Yang terakhir ini termasuk salah satu lagu yang kucibir karena bukan hanya level cintanya tidak terlalu bergengsi, tapi juga tidak tersirat kesan optimisme dan asertivitas sama sekali. Kalau memang tidak rela, so what? Mau berbuat apa? Cari orang lain kah? Atau kejar terus sampai dapat?

Kembali pada lagunya Ronan Keating tadi (yang terus terang aku lupa judul aslinya), masih tersisa perasaan kurang puas dengan cinta model begini. Terasa masih menghambat dan membelenggu sang pencinta sehingga terus berharap-harap cemas akan adanya return dari cinta yang diberikan, meskipun hanya sekedar kekasihnya tahu pasti bahwa ia telah memberikan seluruh cintanya.

Nah, di sinilah aku kemudian teringat pada sebuah lagu jadul:

Cinta yang kuberi
Sepenuh hatiku
Entah yang kuterima
Aku tak peduli
Aku tak peduli oh oh oh...
Aku tak peduli

Yap! Lagu milik musisi balada Ebiet G. Ade ini kuingat terakhir kali kudengar di bis kota beberapa bulan lalu. Cinta model begini inilah yang pada akhirnya membuatku sreg, sebab sebagai seorang pencinta, aku termasuk pendukung ungkapan mencintai tak harus memiliki. Terkesan klise? Mungkin, bagi mereka yang menganggap cinta hanyalah permainan kanak-kanak di antara dua remaja yang sedang kasmaran. Untunglah, cinta yang sebenarnya tidak serendah itu. Cinta adalah perekat segala sesuatu yang tampak tidak sinkron, jauh, dan mustahil direkatkan. Aku pun teringat orang-orang Muslim Cina pernah berkata tentang Mohammad Natsir, "Kami mungkin lebih mengenal dan mencintai dia daripada bangsanya sendiri." Pak Natsir lahir dan hidup di Indonesia, tapi orang-orang nun jauh di sana ternyata lebih merasakan cinta yang ia berikan berupa persahabatan dan persaudaraan sebagai orang-orang Muslim. Bukankah tidak pernah ada sepasang suami istri yang memiliki kecocokan sepenuhnya? Toh, mereka bisa memahami perbedaan masing-masing dan hidup bahagia puluhan tahun karena cinta yang mereka miliki. Bukankah pula banyak negara dengan beragam perbedaan mampu hidup damai ratusan tahun? Apa lagi yang menjadi sebabnya jika bukan cinta yang mereka bangun terhadap kesatuan negaranya.

Cinta tumbuh subur, ketika dipupuk melalui kebiasaan memberi. Dengannya kita selayaknya menjadi manusia yang merdeka, tanpa ada kecemasan apapun akibat rasa ingin menerima. Isn't it sweet?

Read more!
posted by Rumah Kiyut 7:04 AM   2 comments
 
2 Comments:
  • At 4:09 PM, Anonymous Anonymous said…

    Emang..cinta yg tak harus memiliki & tanpa pamrih itu memang kadarnya luar biasa tinggi. Tapi itulah manusia, kalo ngga dapet, kayaknya ngga enak. Rumah Tangga yg satu sisi hanya memberi, lama2 juga akan merasa hambar, Ted...So, kalo menurut aku,ngga usah berharap banyak untuk cinta yg sdh kita miliki, tapi kita akan bertahan hidup lebih lama jika kita menerima cinta dari orang lain...hmmm...

     
  • At 7:53 PM, Anonymous Anonymous said…

    Jarang sekali manusia di muka bumi ini dapat memahami dan memahat lebih dalam di relung hatinya bahwa cinta itu tidak mengharapkan imbalan-nya...... Paling sempurna ya Cinta kita kepada Allah... karena dia sudah pasti akan terus mengucurkan rahmad-Nya yang tiada henti di setiap detak langkah kita....

     
Post a Comment
<< HOME

myprofile
Name: Rumah Kiyut
Home:
About Me:
See my complete profile


previouspost
Pindah Blog
Banjir: Bersedih atau Bersyukur?
Learn To Be Trusted
Setengah dan Setengah
Pernikahan Menuju Kebebasan
Bangsa Survival dan Bangsa Inovator
Bakso Bang Eric
Pemimpin Indonesia
Level Cinta
Hari Kemenangan?


myarchives
September 2006
October 2006
November 2006
December 2006
January 2007
February 2007
June 2007


mylinks
Ant'Z
Rumah Kiyut
Priyadi's
Wimar Witoelar's
Taleo's
The Practice of Leadership
HBS Working Knowledge
McKinsey Quarterly
sepatumerah
Negeri Senja
E-Books
Devi's
Marsha's
Celebrating Life
Iyo's
afsyuhud's
TemplatePanic


bloginfo
This blog is powered by Blogger and optimized for Firefox.
Blog designed by TemplatePanic.