teddibelajarbersyukur
Belajar, Bersyukur, Bekerja
 
Friday, September 15, 2006
Sepatu Merah dan Red Shoes
"Bahasa menunjukkan bangsa". Begitu yang sering kudengar. Artinya kurang lebih adalah bahwa sikap, perilaku, cara berpikir masyarakat amat mudah dicermati dari bahasa yang mereka gunakan. Semakin teratur dan tertata bahasanya, demikian pulalah orang-orang yang menggunakannya. Mengingat tulisan Masaru Emoto dalam The True Power of Water, wajar kiranya jika memang demikian. Kata-kata yang kita keluarkan akan beresonansi dengan hal-hal di sekitar kita termasuk dengan diri kita sendiri. Ucapkan sesuatu yang baik maka tubuh kita akan merespon dengan membentuk diri yang baik pula. Katakanlah sesuatu yang buruk, dan amat wajar jika reaksi wajah seseorang akan berubah seketika kepada kita.

Ngomong-ngomong soal bahasa, aku baru saja terpikir mengenai susunan kalimat yang menjadi pedoman dalam bahasa Indonesia. Seingatku sih, dulu aku belajar kalau bahasa kita menggunakan patokan DM alias diterangkan-menerangkan dalam menyusun frase--sesuatu yang berkebalikan dengan bahasa Inggris yang memakai MD atau menerangkan-diterangkan. Kita biasa mengatakan sepatu merah untuk membandingkannya dengan red shoes dalam bahasa Inggris. Sepintas, tidak ada yang istimewa memikirkan hal ini. Hanya saja, belakangan aku belajar bahwa hal yang paling mudah diingat adalah hal yang paling akhir diucapkan. Coba saja pikirkan kalimat, "Jangan pergi!". Pastilah yang justru terngiang-ngiang adalah kata pergi dan bukannya kata jangan. Alhasil, esensi dari kalimat larangan itu justru kurang dapat tertangkap secara tepat. Dengan menggunakan MD, bahasa Inggris membuatku lebih mudah menangkap esensi sepatu dalam frase red shoes. Sementara jika ada orang mengatakan sepatu merah, yang kutangkap adalah merah-nya, dan esensi sepatunya menguap begitu saja.

Kupikir-pikir, inilah barangkali yang menyebabkan aku sebagai orang Indonesia begitu mudah terpengaruh oleh berbagai pemikiran dan budaya orang lain. Sialnya, yang kutangkap hanyalah luarnya, kerennya, megahnya, atau pendek kata hasil akhirnya saja. Jadilah aku orang Indonesia yang sok Barat tapi tidak sejajar dengan mereka. Jelas saja, karena aku lupa untuk menangkap esensi bahwa mereka mencipta, mendahulu, menemu, berkutat dengan segala ketidaktahuan, bergumul dengan beragam kesulitan, dan segala usaha keras lainnya.

Kupikir-pikir lagi, haruskah aku mengganti bahasa yang kugunakan? Mm...kurasa tidak. Cukuplah aku cari kebijaksanaan di dalamnya, sesuatu yang kuyakin ada namun belum kulihat.
posted by Rumah Kiyut 7:01 AM  
 
0 Comments:
Post a Comment
<< HOME

myprofile
Name: Rumah Kiyut
Home:
About Me:
See my complete profile


previouspost
Ketakutan dan Keberanian
Pengalaman Pertama
Bentuk Yang Terbaik
Belajar Bersyukur


myarchives
September 2006
October 2006
November 2006
December 2006
January 2007
February 2007
June 2007


mylinks
Ant'Z
Rumah Kiyut
Priyadi's
Wimar Witoelar's
Taleo's
The Practice of Leadership
HBS Working Knowledge
McKinsey Quarterly
sepatumerah
Negeri Senja
E-Books
Devi's
Marsha's
Celebrating Life
Iyo's
afsyuhud's
TemplatePanic


bloginfo
This blog is powered by Blogger and optimized for Firefox.
Blog designed by TemplatePanic.