teddibelajarbersyukur
Belajar, Bersyukur, Bekerja
 
Friday, September 29, 2006
Bergerak dan Diam
Pagi ini aku tiba-tiba teringat pada salah satu kuliah yang pernah kuikuti. Dosenku ketika itu menceritakan pengalamannya menjadi subyek eksperimen ketika kuliah di Glasgow. Dalam eksperimen tersebut, ia diminta untuk tidur selama lebih dari 12 jam dengan mata diberi penutup dan seluruh tubuhnya dibalut sehingga tidak bisa bergerak. Lebih tepatnya ia memang tidak diperbolehkah untuk menggerakkan anggota badannya selama proses eksperimen tersebut. Apa yang terjadi kemudian adalah ia mulai mengalami berbagai halusinasi. Setelah eksperimen selesai pun, ia merasa kesulitan untuk langsung mengendalikan gerakan anggota tubuhnya. Seperti ada yang lepas dari kontrolnya ketika itu. Sambil berseloroh, ia mengatakan, "Barangkali inilah sebabnya pada zaman kuno dulu banyak orang-orang sakti yang mengaku mendapat wangsit setelah duduk bertapa berpuluh-puluh hari."

Terlepas dari betapa gelinya aku ketika mendengar selorohnya ketika itu, eksperimen itu memunculkan beberapa hal di pikiranku. Satu sisi, bergerak adalah fitrah asli manusia. Itulah salah satu makna diciptakannya debu. Sepintas, kita mungkin berpikir kalau debu tidak memiliki arti selain hanya mengotori saja. Namun misinya untuk selalu menempel di berbagai benda menjadikan kita senantiasa bergerak untuk membersihkannya. Tanpa gerak, tubuh manusia akan kehilangan sirkulasi yang berlangsung di dalamnya. Tidak mengherankan jika kemudian memunculkan berbagai ketidakseimbangan yang berujung pada penyakit. Jika dicermati lebih jauh, senantiasa bergerak membuat manusia memiliki harga diri sehingga mampu memenuhi kebutuhan akan eksistensi dirinya. Demikianlah yang terjadi pada ibuku beberapa bulan terakhir. Karena sudah mulai menjalankan usaha kue kecil-kecilan, berbagai keluhan sakitnya pun menurun drastis.

Sisi lain, berdiam diri pun juga memiliki sisi positif jika dikerjakan sesuai dengan porsinya. Berbagai kajian mengenai meditasi dan ritual ibadah sudah membuktikan hal ini. Dikatakan bahwa ketika kita berkonsentrasi penuh ketika meditasi atau pun khusyuk ketika menjalankan shalat maka akan muncul semacam kejernihan dalam hati dan pikiran kita. Mereka yang secara konsisten mampu menjalankannya mengakui munculnya kepekaan yang lebih tinggi terhadap berbagai hal yang mereka alami.

Sejenak kemudian aku teringat penuturan Quraish Shihab mengenai manusia sebagai makhluk pertengahan. Manusia tidak diciptakan dengan kepatuhan seperti malaikat, sehingga tidak mampu memahami berbagai fenomena alam dan mengembangkannya. Diperintahkan untuk berdzikir, ia berdzikir seumur hidupnya. diperintahkan untuk menjaga pintu dan ia akan menjaga pintu itu selamanya. Manusia juga tidak diciptakan seperti hewan yang hanya hidup mengikuti nalurinya. Perutnya bergejolak, dan makanlah ia. Saatnya musim kawin, dicarinyalah lawan jenis untuk diajak bereproduksi. Manusia diciptakan dengan kombinasi dari keduanya. Ia memiliki naluri alamiah, sekaligus kecenderungan untuk patuh dan tunduk pada Penciptanya.

Inilah yang membuat kedua pemikiran awal tadi menjadi masuk akal. Keduanya memang dua sisi yang berbeda tapi berada dalam obyek yang sama. Manusia harus terus bergerak untuk memenuhi misinya sebagai ciptaan paling mulia. Namun demikian, ia pun harus menghentikan langkahnya sesekali, terdiam dan merenungkan segala hal yang telah dilewatinya. Ketika itulah ia akan melihat cahaya Tuhan membimbingnya. Aku belajar keduanya dari shalat dan puasa. Kita bergerak ketika shalat, tapi juga terdiam tuma'ninah dalam setiap langkahnya. Kita tetap menjalani hidup ketika berpuasa, dan mendiamkan perut serta berbagai godaan lain. Hanya dengan bergerak kita bisa membuat perubahan. Namun hanya dalam diamlah suara Tuhan bisa terdengar.

Read more!
posted by Rumah Kiyut 11:33 AM   1 comments
 
1 Comments:
  • At 7:46 PM, Anonymous Anonymous said…

    Yup... aku mengagumi tulisanmu yang sangat simple dan mudah dicerna... usiamu pun masih muda guys...

    Mudah2 an kelak aku dapat membaca lagi tulisanmu yang lainnya..

    Regards,
    Susi
    081316311390

     
Post a Comment
<< HOME

Thursday, September 28, 2006
Aku Rindu
Menjalani beberapa hari Ramadhan membuatku terkenang akan Ramadhan yang kujalani ketika aku kecil. Keriangan sepulang sekolah, bermain menunggu ashar, mandi sore, kemudian bersiap-siap menuju masjid untuk shalat maghrib. Kuingat betul betapa bersemangatnya aku ketika itu, sampai-sampai tidak satu shalat wajib pun yang kulewatkan tanpa berjamaah. Aku selalu duduk di shaf paling depan bahkan di belakang imam langsung, sehingga pernah satu kali aku 'diusir' ke belakang karena tempat itu diperuntukkan bagi ustadz pengisi ceramah. Begitu antusianya aku mendengar ceramah dan menuliskan ringkasannya di buku tugas dari sekolah. Betapa bangganya aku sebab satu bulan, aku bisa meng-khatam-kan Al Qur'an hingga 3 kali. Gairahku begitu menggebu-gebu meskipun aku belum memahami esensi dari tiap hal yang kukerjakan selain hanya ritual ibadah yang mengandung banyak pahala.

Sungguh sesuatu yang amat berbeda dengan yang kujalani beberapa tahun belakangan. Seperti ada penurunan yang amat drastis baik dari segi kuantitas maupun kualitas ibadah yang kujalani. Tidak lagi aku sesemangat dulu ketika melangkah ke masjid. Tidak lagi aku mampu menangis saat membaca sura Ar-Rahman. Tidak lagi aku merasakan energi yang luar biasa mengalir membawaku seolah terbang setiap kali kubaca surat adalam shalat. Memang pemikiranku sudah jauh berkembang. Aku sudah mampu menarik makna dan hakikat setiap ritual yang dijalani oleh seorang Muslim, sekaligus mengaitkannya ke dalam kehidupanku yang lain. Hanya saja sesekali kurasakan kehampaan yang amat sangat.

Satu hal yang menentramkan hatiku. Pernah kubaca bahwa sahabat Ali pernah mengatakan, "Iman itu naik turun. Kejarlah ibadah sebanyak-banyaknya ketika ia sedang naik. Sempurnakanlah yang wajib saja ketika memang ia sedang menurun." Barangkali sekarang imanku sedang turun, tapi kapankah kiranya ia akan kembali menanjak? Aku sungguh merindukan saat-saat itu...

Read more!
posted by Rumah Kiyut 7:02 AM   1 comments
 
1 Comments:
  • At 7:53 AM, Anonymous Anonymous said…

    yang ini makes me want to cry...
    I love this story more...

     
Post a Comment
<< HOME

Wednesday, September 27, 2006
Belajar Memberi
"Makin banyak memberi, makin banyak menerima," begitu kata banyak ungkapan bijak. Di bulan puasa ini, falsafah ini semakin terasa penting sebab bermacam ragam fasilitas telah disediakan guna menjadikan kebiasaan memberi semakin menjamur. Sebutlah buka puasa bersama di setiap masjid, misalnya. Di beberapa komplek perumahan, pengurus masjid biasanya bahkan sudah menyusun jadwal warga yang akan menyumbang hidangan buka puasa agar jumlah yang disediakan pas, tidak kurang tidak lebih. Menjelang berbuka, diundanglah para warga yang merasa membutuhkan untuk berbondong-bondong datang kesana. Orang-orang yang berhasrat menyumbang namun belum kebagian jadwal (dan memiliki banyak dana tentunya) umumnya mengadakan sendiri buka bersama dengan mengundang anak yatim piatu. Selain itu, para pengurus lembaga zakat pun tak kalah serunya dalam kampanye memberi yang satu ini. Beraneka macam paket model pembayaran zakat pun disediakan untuk memudahkan masyarakat menyalurkan hartanya.

Memperhatikan kebiasaan seperti ini menarik bagiku, terutama karena tidak lama setelah Ramadhan selesai kebiasaan ini pun berlalu begitu saja. Tidak heran sih, sebab hanya di bulan puasa lah Tuhan menjanjikan limpahan pahala yang tak terhitung plus dilipatgandakan lagi untuk mendorong manusia agar giat beramal. Masyarakat yang ekonomis tentunya amat sensitif dengan perhitungan untung rugi seperti ini. "Ayo shalat sunnah, kan pahalanya seperti shalat wajib," atau, "Ayo ngaji, kan pahalanya dihitung per huruf lho," demikian yang sering kita dengar.

Bukan pandangan yang salah memang, hanya saja menurutku terlalu sempit. Memang kita umumnya sudah mengalokasikan dana selama setahun untuk disumbangkan pada bulan puasa, tapi menyumbangkan harta kan bukan satu-satunya cara untuk beramal. Bukankah kita diajarkan bahwa senyum itu ibadah? Jauh lebih dalam dari sekedar menyumbang makanan, senyum bahkan bisa mengantarkan ketentraman hati pada orang-orang yang melihatnya. Lalu mengapa pula setelah puasa kita tidak coba untuk berjanji untuk selalu memberikan kesempatan kepada orang lain terlebih dulu ketika berkendara di jalan raya? Bukankah ini juga amal, apalagi jika ternyata orang tersebut memang terburu-buru atau sakit. Mendengarkan orang lain dengan tulus, memberikan dukungan kepada tetangga yang kesusahan, merapikan sandal di pelataran masjid, atau menyingkirkan kotoran dari jalanan dan lain sebagainya adalah ladang amal yang teramat luas dan belum banyak terjamah dibandingkan dengan sumbangan dana dan makanan.

Pada akhirnya, aku tidak sedang mengatakan bahwa sumbangan yang sifatnya fisik itu jelek. Hanya saja, tolok ukur keberhasilan ibadah justru dapat dilihat dari bagaimana ibadah itu membentuk pribadi tiap insan yang menjalaninya. Itulah sebabnya dalam syahadat--titik pertama seseorang beragama--dimulai dengan mengucap nama Allah kemudian diikuti dengan kesaksian terhadap Rasul. Agama yang memerintahkan umatnya untuk berpuasa ini bukan agama 'langit'. Penyembahan kepada Tuhan harusnya melahirkan kemuliaan dalam kehidupan bermasyarakat.

Read more!
posted by Rumah Kiyut 7:29 AM   1 comments
 
1 Comments:
  • At 7:50 AM, Anonymous Anonymous said…

    I love this story!!!

     
Post a Comment
<< HOME

Tuesday, September 26, 2006
Ramadhan dan Harga Naik
Ibuku baru saja mengeluh, "Harga pisang mahal banget. Baru aja naik!" Sebuah keluhan yang tak lama kemudian kudengar lagi dari beberapa orang rekanku yang juga mengatakan bahwa harga ayam dan daging mulai merangkak meninggalkan tempat berpijak stabilnya selama bulan-bulan belakangan.

Sejujurnya aku tidak heran dengan fenomena seperti ini. Sudah jamak bertahun-tahun bahwa bulan puasa memiliki salah satu arti lain: kenaikan harga. Bukan salah pada pedagang sih, karena permintaan meningkat, stok menjadi sedikit, ya akhirnya harga lah yang dinaikkan (atau naik) dengan sendirinya. Permintaan meningkat karena justru di bulan puasa lah orang seperti mendapat pembenaran untuk mencoba beragam makanan atau cemilan lebih dari yang biasa mereka konsumsi sehari-hari. Kolak, es buah, es cendol, dan kawan-kawan yang umumnya hanya bisa kita temukan di pasar, pusat perbelanjaan atau kondangan, kini menjamur di tiap meja makan di tiap rumah. Ditambah dengan menu makanan sedap bin enak plus kue kering maupun basah, lengkap sudah buka puasa di hari itu.

Aku pun kemudian menjadi penasaran: demikiankah seharusnya kita menjalani puasa? Sebuah pertanyaan yang aku pun sudah tahu tidak perlu dijawab. Apalah gunanya menahan lapar dan dahaga seharian jika kemudian hanya dalam sejenak berbuka dan tanggul itu telah dijebol oleh berkilo-kilo makanan? Bukankah lapar dan haus sejatinya melahirkan keinginan untuk berbagi? Bukankah hasrat pemenuhan syahwat harusnya menjadi titik awal untuk mencintai dengan tulus dan tanpa syarat? Bukankah setiap suapan dan tetes air yang melewati kerongkongan mestinya menghantarkan pemahaman akan syukur?

Jauh dari dalam lubuk hatiku menjawab, "Ya!" Dengan inilah Tuhan mengajari kita untuk menjadi manusia yang merdeka.

Read more!
posted by Rumah Kiyut 7:20 AM   1 comments
 
1 Comments:
  • At 7:47 AM, Anonymous Anonymous said…

    ehmmm mau pinjam buku makro ekonomiku? sehingga kamu bisa membahas dengan lebih panjang melalui supply & demand....
    heheee

     
Post a Comment
<< HOME

Monday, September 25, 2006
Puasa dan Keberlangsungan Hidup
Aku amat gembira dengan puasa Ramadhan hari pertamaku di tahun ini. Setelah seharian menahan tidak dipusingkan untuk makan dan minum, malam hari ternyata masih menyisakan kenikmatan yang luar biasa ketika beragam makna bermunculan dari berbagai hal yang kulewati di hari itu. Semuanya berawal ketika tanpa sengaja aku melihat judul buku tulisan Hernowo: Spirit Iqra'. Aku memang belum sempat membaca tulisan di dalamnya, namun spirit menulis 30 hari nonstop yang sedang digaungkannya menyentil kepalaku untuk turut 'membaca' pengalamanku seharian ini. Sejurus kemudian aku pun mendapati imajinasiku melayang dan turun membawa beberapa serpihan makna.

Ya. Aku menemukan bahwa dengan berpuasa aku turut menjaga keberlangsungan kehidupan di dunia. Bagaimana bisa? Tentu bisa. Begini ceritanya. Agar dapat bertahan hidup, Tuhan menganugerahi alam dengan kemampuan untuk selalu menjaga keseimbangan alias homeostatis kata para cendikiawan. Lihat saja, misalnya, tubuh kita. Akibat kelelahan dan pola hidup serta pola makan yang kurang sehat, tubuh pun merespon dengan menjadikan dirinya sakit flu. Sejumlah ingus pun meler keluar dari hidung disertai bersin atau batuk berdahak demi mengeluarkan beragam virus yang telah menumpuk tak terbendung di dalam tubuh kita. Inilah hasil yang kita dapat ketika kita tidak pernah berolahraga cukup sehingga aneka penyakit yang mustinya dikeluarkan melalui proses olahraga (disamping untuk menjaga stamina juga sih) terus tertimbun dan akhirnya dimuntahkan oleh tubuh kita. Sebuah contoh keseimbangan yang sempurna bukan? Hal yang sama terjadi ketika untuk pertama kalinya seseorang belajar merokok. Jika belum terbiasa, tubuh pasti menolak asap racun itu dengan membuatnya terbatuk-batuk. Karena dibiasakanlah (baca: dipaksakan) tubuh pun akhirnya menurut dan mencoba untuk mencari keseimbangan baru. Hampir semua penyakit yang timbul dalam tubuh kita muncul akibat keseimbangan yang dipaksakan ini.

Bagaimana dengan lingkungan dan masyarakat? Tengoklah dari mulau gempa bumi, longsor, banjir, sampai semburan lumpur. Semuanya hanyalah usaha alam untuk mencari keseimbangan baru. Cermati pula bagaimana peradaban berubah dari generasi ke generasi. Sebuah gaya hidup baru yang pada kemunculan perdananya dicerca dan dimaki toh akhirnya diterima jua setelah secara konsisten dikampanyekan. Jangan lupa pula untuk melihat bagaimana pada akhirnya korupsi, kolusi, dan demonstrasi yang menentang keduanya pun menjadi sesuatu yang biasa, dimaklumi, dan disepelekan.

Sebuah pertanyaan muncul: mengapa alam selalu mencari keseimbangan? Jawabnya sederhana: berada dalam keadaan tidak seimbang itu memakan banyak energi. Cobalah berdiri dengan satu kaki selama 1 menit saja. Bagi kita yang tak terbiasa tentu merupakan suatu siksaan yang luar biasa melelahkan. Demikianlah pula yang terjadi pada alam.

Lalu apa hubungannya dengan puasa? Setidaknya ada beberapa manfaat puasa yang kutemukan dalam rangka menjaga keseimbangan alam. Pertama secara fisik dan kedua secara sosial. Secara fisik, kita sudah tahu bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk tidak puas dengan apa yang sudah dimilikinya. Dalam hal makanan saja puasa sudah memiliki peran dalam menjaga kuantitas makanan yang dimasukkan ke dalam perut manusia. Jika ada 1 orang dengan porsi makan besar berpuasa selama 30 hari penuh, bayangkan bahan makanan yang dapat dikumpulkan dan dibagikan kepada korban kelaparan di Afrika dengan 1 milyar penduduk bumi yang berpuasa. Setelah 11 bulan hidup dalam ketidakseimbangan, setidaknya ada 1 bulan yang membuat keseimbangan itu kembali. Secara sosial, kita juga paham bahwa esensi puasa justru terletak pada aplikasi menahan diri dalam konteks hubungan antar manusia. Satu orang saja belajar menjadi lebih sabar, lebih pemurah, lebih konsisten; bayangkan lagi bagaimana perdamaian dunia dapat tercipta dengan semua orang berpuasa. Lagi-lagi, setelah 11 bulan berjalan tak tentu arah, puasa memfokuskan kita untuk menjalani ibadah yang amat rahasia sebab tidak seorang pun yang tahu sebaik apa puasa kita kecuali kita sendiri.

Indah bukan? Filosofi puasa tidak hanya menahan untuk kepentingan pribadi (baca: takut dosa karena tidak menjalankan ibadah) tapi juga menjaga keberlangsungan hidup generasi mendatang. Wow, benar-benar metode ibadah yang luar biasa.

Read more!
posted by Rumah Kiyut 7:03 AM   1 comments
 
1 Comments:
  • At 1:07 PM, Anonymous Anonymous said…

    Hi, I open your blog and I read almost all of your writing. You should be a writer, I guess, sitting in a porch with sarung...(just kidding).

    Sedikit comment untuk tulisan puasa ya.. Di banyak ajaran (apakah itu orang tua bilang, kyai, penceramah), sangat jelas dikatakan bahwa esensi puasa memang mengembalikan (baca: balance) cycle of life. Meskipun aku berpikir tujuan puasa lebih mendidik bagaimana manusia seharusnya hidup berdampingan, mengasah kepekaan, menyadari kenikmatan, yang pada akhirnya (semoga) dapat menggiring manusia ke pemikiran bahwa semua itu tidak muncul tiba-tiba, than kita mulai berpikir bagaimana cara bersyukur.

    So, maukah kamu mencoba menuliskan pemaknaan puasa (real story)? Dalam pandangan dan pemikiranmu. Tulisan jelas akan menjadi lebih berat dan membutuhkan keberanian yang sangat untuk tidak dianggap sebagai "sok tahu", "menggurui", ketakutan akan "karma" karena berani bicara hal-hal yang tinggi (mungkin), karena finally aku berharap apakah benar 1 bulan dapat menjadikan hidup kita upss mu balance (semua tergantung dari individu yang menjalaninya, bukan). Untuk tujuan baik, yang mana kita (baca: yang membaca) dapat belajar dari pengalamanmu, kenapa tidak?

    Oiya, aku memahami konsep balance yang kamu maksud, hanya saja, cerita mengenai bencana alam, keserakahan manusia seperti korupsi dll yang pada akhirnya menjadi biasa - hal itu bukan berarti balance kan? Next time harus lebih dibedakan mana yang balance dan mana yang habit hehee..

    Good work, I like your language in writing. I'll be your fans...

     
Post a Comment
<< HOME

Friday, September 22, 2006
Mengikis Nurani
Sekalipun bukan siswa yang pandai, sejak kecil nilai-nilaiku tidak pernah terlalu buruk. Ya, sedang-sedang saja lah. Dari SD berlanjut ke SMP aku menjalani kehidupan sebagai siswa yang baik (baca: belajar sesuai ketentuan untuk mendapatkan nilai yang bagus). Alhasil, meskipun bukan siswa terbaik, paling tidak aku selalu masuk dalam deretan sepuluh besar.

Perubahan besar terjadi ketika aku SMU. Keasyikan berekstrakurikuler ria membuat frekuensi dan intensitas belajarku menurun. Saat itulah untuk pertama kalinya aku belajar perilaku yang amat nista bagi seorang pelajar: mencontek. Mulai dari mencontek teman (yang dengan sukarela memberikan jawabannya kepadaku) sampai menyalin dari buku pelajaran yang kuletakkan di laci meja. Di kelas 1 aku sempat menyadari bahwa dengan cara seperti ini nilai-nilaiku tidak pernah bagus--tidak pernah aku memperoleh nilai lebih dari 7 untuk setiap ujian yang aku mencontek di dalamnya. Baru di kelas 3 lah akhirnya aku berhasil berhenti selamanya. Mengapa begitu lama? Aku tidak tahu. Hanya rasanya amat sulit untuk keluar dari kebiasaan yang seolah-olah menghisapku dengan amat dalam itu. Tidak peduli betapa orang tuaku banting tulang untuk membiayai sekolahku, tidak peduli betapa keras setiap guru mempersiapkan pelajaran setiap harinya, tidak peduli berapa banyak orang yang berjuang untuk dapat duduk dan belajar di tempat dudukku, aku mencontek kedamaian di masa-masa itu.

Hal yang mirip terjadi kemudian padaku ketika untuk pertama kalinya aku belajar untuk melanggar lampu merah dan berputar arah pada tempat yang tidak diperbolehkan. Hanya jika ada polisi yang tampak mengancam sajalah aku tidak melakukan perilaku terlarang itu. Sebuah perilaku yang amat sulit kuhapuskan meski sudah berlalu bertahun-tahun. Tidak peduli berapa banyak orang yang mungkin celaka karena perilakuku (ditambah akibat yang mungkin timbul pada keluarga mereka) aku tetap melaju dan tersenyum senang ketika berhasil melewatinya dengan 'selamat'.

Mengenang pengalaman-pengalaman ini membuatku semakin perhatian pada orang-orang di sekelilingku. Para perokok salah satunya. Setiap mereka sudah tahu dan paham betul bahaya yang mengancam dalam setiap hisapannya, namun tidak satu pun yang begitu mudah menghentikannya meski sudah amat ingin. Saking kecanduannya, sudah tidak mengherankan lagi kalau para perokok itu tidak pernah memandang tempat jika ingin melampiaskan hasrat menghisapnya. Di dalam ruangan ber-AC atau angkutan umum yang pengap sekalipun mereka akan menghembuskan asap mematikan itu dengan wajah tampak lega, rileks, santai.

Sama dengan perbuatan baik yang akan membukakan jalan lapang menuju kebijaksanaan, perbuatan buruk akan menjadikan kita masuk semakin dalam pada jurang kenistaan. Sebuah peringatan waspada muncul dalam benakku belakangan: Berhati-hatilah dengan perbuatan buruk, karena ia akan mengikis nuranimu sedikit demi sedikit. Suara lain menyahut: Waspadalah dengan kebiasaan yang sedang kamu pupuk.

Read more!
posted by Rumah Kiyut 9:06 AM   0 comments
 
0 Comments:
Post a Comment
<< HOME

Wednesday, September 20, 2006
Senyum dan Jalan Raya
Dua tahun pertama aku mengendarai motor, aku amat jarang berjalan terlalu jauh dari rumah dan sekolah. Aku merasakan situasi jalanan yang cukup stabil ketika itu, karena memang jalan-jalan di sekitar rumahku tidak terlalu besar.

Sesuatu yang mengejutkan ketika selepas SMU aku pindah ke Jogja, sebuah kota yang konon merupakan icon budaya di Jawa. Sebagaimana umumnya pandangan terhadap orang Jawa (aku pun keturunan orang Jawa), aku pun menilai bahwa masyarakatnya pastilah orang-orang yang amat ramah dengan budaya saling menghargai yang tinggi. Aku katakan mengejutkan sebab tak berapa lama aku mengendarai motor disana, aku merasa cukup sulit ketika akan membelok dari jalan raya menuju gang tertentu. Kalau di Jakarta aku cukup menyalakan lampu sign dan membelokkan sedikit stang motor maka orang-orang di hadapanku sudah memberikan jalan, di Jogja cara seperti ini tidak bisa bekerja. Bahkan ketika aku sudah hampir mencapai mulut gang pun, masih saja ada motor yang menyelinap di hadapan sehingga mengagetkanku (belakangan kuperhatikan banyak kecelakaan di Jogja terjadi dengan cara seperti ini).

Semua ingatan itu memantik pertanyaanku: mengapa senyum yang begitu ramah di jalan-jalan perumahan tampak amat menyeramkan di jalan raya? Keganasan yang sama memang juga terjadi di Jakarta, hanya saja aku melihat 'mata lapar dan lelah' dalam sorot pandangan mereka--sesuatu yang tidak kulihat di Jogja. Rasa penasaran sedikit terjawab ketika aku membaca tulisan Pramoedya dalam tetraloginya. Kurang lebih ia mengatakan bahwa orang Jawa saat ini kebanyakan hanya memahami budaya Jawa sebagai ritual, dan melupakan esensinya. Cerita-cerita, dongeng, dan berbagai kisah dilihat sebagai mistik kehebatan bin kesaktian masa lalu, dan tidak dimaknai sebagai petunjuk jalan untuk kehidupan yang lebih baik. Sangat wajar jika kemudian senyuman dipandang sebagai cara untuk menutupi niat dan ewuh pekewuh menjadi pembenaran untuk mendiamkan perbuatan rusak masyarakat.

Hmm...sejurus kemudian aku bertanya lagi: mencermati gaya hidupku, budaya apa ya yang sedang kupraktekkan sekarang?

Read more!
posted by Rumah Kiyut 7:33 AM   1 comments
 
1 Comments:
Post a Comment
<< HOME

Friday, September 15, 2006
Sepatu Merah dan Red Shoes
"Bahasa menunjukkan bangsa". Begitu yang sering kudengar. Artinya kurang lebih adalah bahwa sikap, perilaku, cara berpikir masyarakat amat mudah dicermati dari bahasa yang mereka gunakan. Semakin teratur dan tertata bahasanya, demikian pulalah orang-orang yang menggunakannya. Mengingat tulisan Masaru Emoto dalam The True Power of Water, wajar kiranya jika memang demikian. Kata-kata yang kita keluarkan akan beresonansi dengan hal-hal di sekitar kita termasuk dengan diri kita sendiri. Ucapkan sesuatu yang baik maka tubuh kita akan merespon dengan membentuk diri yang baik pula. Katakanlah sesuatu yang buruk, dan amat wajar jika reaksi wajah seseorang akan berubah seketika kepada kita.

Ngomong-ngomong soal bahasa, aku baru saja terpikir mengenai susunan kalimat yang menjadi pedoman dalam bahasa Indonesia. Seingatku sih, dulu aku belajar kalau bahasa kita menggunakan patokan DM alias diterangkan-menerangkan dalam menyusun frase--sesuatu yang berkebalikan dengan bahasa Inggris yang memakai MD atau menerangkan-diterangkan. Kita biasa mengatakan sepatu merah untuk membandingkannya dengan red shoes dalam bahasa Inggris. Sepintas, tidak ada yang istimewa memikirkan hal ini. Hanya saja, belakangan aku belajar bahwa hal yang paling mudah diingat adalah hal yang paling akhir diucapkan. Coba saja pikirkan kalimat, "Jangan pergi!". Pastilah yang justru terngiang-ngiang adalah kata pergi dan bukannya kata jangan. Alhasil, esensi dari kalimat larangan itu justru kurang dapat tertangkap secara tepat. Dengan menggunakan MD, bahasa Inggris membuatku lebih mudah menangkap esensi sepatu dalam frase red shoes. Sementara jika ada orang mengatakan sepatu merah, yang kutangkap adalah merah-nya, dan esensi sepatunya menguap begitu saja.

Kupikir-pikir, inilah barangkali yang menyebabkan aku sebagai orang Indonesia begitu mudah terpengaruh oleh berbagai pemikiran dan budaya orang lain. Sialnya, yang kutangkap hanyalah luarnya, kerennya, megahnya, atau pendek kata hasil akhirnya saja. Jadilah aku orang Indonesia yang sok Barat tapi tidak sejajar dengan mereka. Jelas saja, karena aku lupa untuk menangkap esensi bahwa mereka mencipta, mendahulu, menemu, berkutat dengan segala ketidaktahuan, bergumul dengan beragam kesulitan, dan segala usaha keras lainnya.

Kupikir-pikir lagi, haruskah aku mengganti bahasa yang kugunakan? Mm...kurasa tidak. Cukuplah aku cari kebijaksanaan di dalamnya, sesuatu yang kuyakin ada namun belum kulihat.

Read more!
posted by Rumah Kiyut 7:01 AM   0 comments
 
0 Comments:
Post a Comment
<< HOME

Thursday, September 14, 2006
Ketakutan dan Keberanian
Tiba-tiba aku teringat salah seorang keponakanku yang tidak pernah bisa diam. Dulu, ia suka sekali naik turun tangga rumahku dengan kecepatan tinggi padahal keseimbangannya belum terjaga. Setiap kali aku harus menemaninya ketika ia ingin naik ke lantai atas, sampai satu ketika ia tiba-tiba minta turun dengan ketakutan. Kata kakakku sih, di atas memang ada jin yang menunggu, dan anak kecil umumnya memiliki kemampuan untuk melihat mereka. Sejak itu, aku yang biasanya santai saja ketika harus naik ke atas menjadi sering deg-degan.

Tahun pertama aku mengendarai motor, aku tidak pernah berkendara dengan kecepatan di bawah 80 km/jam. Mau tahu kecepatanku sekarang? 60 km/jam hanya jika itu jalan yang lengang, lapang, dan aku sedang buru-buru. Apa sebabnya? Di tahun pertama itu pulalah untuk pertama kalinya (dan kuharap terakhir kalinya) aku tahu bagaimana rasanya jatuh karena menabrak motor orang lain.

Menarik mengingat hal-hal seperti ini, karena tidak saja mengajarkanku untuk berhati-hati melainkan juga hal lain yang lebih berharga: ketidaktahuan justru membuat cakrawala kita luas tak berbatas. Jika saja tidak melihat jin, keponakanku barangkali sudah menjadi pelari naik-turun tangga tercepat di dunia. Atau, seandainya aku tidak pernah menabrak orang dan jatuh dari motor mungkin aku sudah menjadi pembalap paling berani yang terkenal. Ha..ha..

Read more!
posted by Rumah Kiyut 2:59 PM   1 comments
 
1 Comments:
Post a Comment
<< HOME

Pengalaman Pertama
Waktu kecil aku tidak pernah keberatan untuk berbagi gelas minuman dengan orang lain. Semuanya berubah ketika satu saat kakakku melihatku meminum sirup dari gelas seorang tamu yang berkunjung ke rumah. Ia pun menakut-nakutiku bakal tertular penyakit kalau kebiasaanku seperti itu. Kawan-kawanku amat suka makan di salah satu tempat makan dekat kantor, sebuah tempat yang tidak kusuka karena sekali waktu tempat itu pernah menyajikan makanan yang agak basi. Keponakanku tidak pernah takut kepada hewan semenjak lahir, sampai satu saat pengasuhnya seringkali menakut-nakutinya akan digigit kucing jika tidak mau disuapi. Jadilah ia amat jijik dengan kucing sampai sekarang.

Kebanyakan orang tidak pernah berani mencoba karena pernah gagal pada pengalaman pertama. Semuanya memberiku pelajaran berharga: berhati-hatilah dengan pengalaman pertama. Bukan berarti harus sempurna saat pertama kali, namun bagaimana pengalaman pertama itu kita jadikan sebagai pelajaran berharga di kemudian hari. Yap, ada yang mengatakan bahwa pengalaman bukanlah kejadian yang kita alami, melainkan makna yang kita berikan terhadap kejadian itu. Aku setuju dengan yang satu ini.

Read more!
posted by Rumah Kiyut 2:31 PM   0 comments
 
0 Comments:
Post a Comment
<< HOME

Bentuk Yang Terbaik
Beberapa hari yang lalu aku membaca tulisan Gede Prama. Di dalamnya ia berkata, "Tuhan menciptakan setiap hal dalam bentuk yang terbaik." Wow! Sungguh sebuah kalimat yang menusuk pikiranku. Betapa tidak, ketika kecil aku ingin mobil-mobilan yang bisa kutarik dengan tali untuk kubawa berlari bersama teman-teman. Begitu mendapatkannya, aku pun menginginkan mobil-mobilan lain yang bisa digerakkan dengan remote control. Baru beberapa tahun kemudian aku mendapatkannya, tapi tak lama kemudian aku pun sudah menginginkan mobil-mobilan yang bisa kukendarai.

Sejenak mengingat pengalaman ini membuatku berpikir, keinginan seperti ini tidak pernah berhenti sampai sekarang. Belum mendapat pekerjaan, aku ingin bekerja. Baru saja mendapat beberapa order pekerjaan, aku ingin bekerja dengan lebih teratur di perusahaan besar. Sudah bekerja di perusahaan besar, aku masih tak puas dan ingin pekerjaan yang lebih menantang dengan gaji besar. Kata-kata Gede Prama tadi begitu menusuk karena ia datang tepat ketika keinginanku yang terakhir ini datang begitu menggebu-gebu. Ia mengingatkanku akan hakikat yang sesungguhnya dari bersyukur: "Tuhan menciptakan segalanya dalam bentuk yang terbaik, tidakkah kamu melihatnya?" demikian seolah ia ingin berujar.

Ya. Aku memang pernah sedikit terpengaruh dengan perkataan seorang sahabat dahulu. "Hidup adalah sebuah pencarian," katanya. Sebuah kalimat yang membuatku tertegun ketika itu, sebab bernada filosofis nan bijaksana. Hmm...baru kini kusadari bahwa tidak ada yang perlu dicari. Semuanya hanya perlu disambut dan dilihat dengan mata yang lebih jernih. Karena aku sudah diciptakan sebagai yang terbaik, saatnya untuk menjadikannya benar-benar terbaik.

Read more!
posted by Rumah Kiyut 7:56 AM   0 comments
 
0 Comments:
Post a Comment
<< HOME

Wednesday, September 13, 2006
Belajar Bersyukur
Pernah satu kali aku merasa aku tidak mampu berbicara dengan baik di hadapan banyak orang. Seorang guru kemudian menyuruhku berpidato di perpisahan kelas kami, dan aku bisa melakukannya. Pernah pula aku berpikir aku tidak memiliki keahlian untuk memimpin orang lain dengan baik. Bertahun-tahun kemudian aku 'dipaksa' memimpin sebuah tim yang terdiri dari orang-orang terbaik, dan bagiku itu sebuah kesuksesan besar. Pernah lagi aku jatuh dan merasa amat sulit untuk bangkit lagi. Seorang sahabat memberikan pencerahan bagiku, dan aku pun bangkit jauh lebih kuat dari sebelumnya.

Cukup aku sering merasa aku tidak bisa melebihi diriku yang sekarang, kemudian memilih berpikir untuk mensyukuri apa yang kumiliki saat ini. Mengingat kembali apa yang pernah kualami, sepertinya ini bukanlah hal yang benar. Yang benar adalah aku seringkali tidak pernah menyadari apa yang aku punya, sehingga hidupku seperti mati suri dan hanya mengikuti arus air mengalir. Ketika ia tiba-tiba membangunkanku, barulah aku melihat apa yang sesungguhnya sudah ada dalam diriku. Kebutaankulah yang hakikatnya membuatku masih belum beranjak dari tempat tidurku.

Aku memandang dengan cara yang sama, maka aku pun akan selalu melihat hal yang sama. Ya, sebab bersyukur bukanlah lagi menerima apa adanya, melainkan mengoptimalkan apa yang sudah ada untuk menggapai apa yang belum ada. Aku ingin memandang dengan cara seperti ini.

Read more!
posted by Rumah Kiyut 7:26 AM   0 comments
 
0 Comments:
Post a Comment
<< HOME

myprofile
Name: Rumah Kiyut
Home:
About Me:
See my complete profile


previouspost
Pindah Blog
Banjir: Bersedih atau Bersyukur?
Learn To Be Trusted
Setengah dan Setengah
Pernikahan Menuju Kebebasan
Bangsa Survival dan Bangsa Inovator
Bakso Bang Eric
Pemimpin Indonesia
Level Cinta
Hari Kemenangan?


myarchives
September 2006
October 2006
November 2006
December 2006
January 2007
February 2007
June 2007


mylinks
Ant'Z
Rumah Kiyut
Priyadi's
Wimar Witoelar's
Taleo's
The Practice of Leadership
HBS Working Knowledge
McKinsey Quarterly
sepatumerah
Negeri Senja
E-Books
Devi's
Marsha's
Celebrating Life
Iyo's
afsyuhud's
TemplatePanic


bloginfo
This blog is powered by Blogger and optimized for Firefox.
Blog designed by TemplatePanic.