teddibelajarbersyukur
Belajar, Bersyukur, Bekerja
 
Monday, October 30, 2006
Hari Kemenangan?
Libur lebaran seminggu kemarin menyisakan tawa dan cemas sekaligus padaku. Tawa, sebab selayaknya sebuah perayaan hari besar, lebaran memang penuh dengan canda tawa dan keramaian. Keluargaku lengkap berkumpul tepat sehari sebelum lebaran, berkeliling silaturahim hingga hari ketiga, menikmati Jakarta yang cukup lengang (kecuali setelah shalat Id yang memang macet luar biasa). Pokoknya, tidak satu pun jalan yang kulewati lepas dari gema hari yang sering disebut hari kemenangan itu. Nah, disinilah rasa cemasku muncul: benarkah hari itu adalah hari kemenangan?

Aku pun teringat sebuah riwayat ketika Rasulullah mensabdakan, "Kita baru saja kembali dari peperangan kecil dan akan masuk ke dalam peperangan yang lebih besar." Sebuah sabda yang diucapkan tak lama setelah menang di sebuah peperangan menjelang bulan Ramadhan ini cukup mengagetkan sahabat yang mendengarnya ketika itu. Perang fisik disebut sebagai peperangan kecil, karena ia jauh lebih terlihat dan kasat mata, sehingga kita bisa mengatur strategi yang jitu untuk menaklukkannya. Sementara perang terhadap dorongan dari diri sendiri menjadi peperangan besar, sebab rasa cinta diri yang abstrak jelas tidak mudah untuk dikendalikan begitu saja. Inilah barangkali yang menjadi alasan mengapa banyak orang menganggap Idul Fitri sebagai hari kemenangan.

Menilik ke dalam diri sendiri, sebuah pertanyaan sinis menyentil telingaku: benarkah aku sudah menang? Mengingat masih ada detik-detik Ramadhan yang belum diisi ibadah yang khusyuk, mengingat perkataanku yang masih menyakitkan kepada seorang kawan, mengingat keenggananku untuk menyeberangkan seorang nenek yang kulihat di pinggir jalan, mengingat semangatku yang justru muncul ketika berangkat untuk membeli baju baru, mengingat berat badanku yang segera naik setelah lebaran, label kemenangan tampaknya masih cukup jauh untuk diraih.

Untunglah, aku termasuk yang selalu meyakini bahwa setiap ritual ibadah adalah metode training dari Tuhan. Selayaknya sebuah pelatihan, ia memang tidak akan menjadikan pesertanya berubah seketika selesai mengikuti semua sesinya. Butuh transfer of training untuk menjadikan keterampilan yang dipelajari agar merefleks dalam perilaku sehari-hari. Demikianlah aku ingin menjadikan 11 bulan mendatang sebagai ajang penggemblengan sekaligus aktualisasi diri yang sesungguhnya.

Ya, sebab hari kemenangan hanya untuk mereka yang mampu mentransformasikan keshalihan spiritualnya menjadi keshalihan sosial yang mumpuni.

Selamat Hari Raya Idul Fitri. Taqabbalallahu minni wa minkum.

Read more!
posted by Rumah Kiyut 9:48 AM   1 comments
 
1 Comments:
  • At 3:07 PM, Blogger Devi Girsang, MD said…

    Hi Teddy, thanks for dropping by at my blog ;)

    Selamat hari raya Idul Fitri ya. It's so sweet to read your postings about your gratitude to God. Cya in the blogosphere.

     
Post a Comment
<< HOME

Friday, October 20, 2006
Sudahkah Fitrah?
Ramadhan tinggal menyisakan sedikit lagi hari. Sebelah tangan pun masih tersisa untuk menghitungnya. Mengingat pesan yang selalu dikumandangkan para penceramah sejak dulu, konon katanya kita akan kembali kepada fitrah setelah selesai bulan ini. Karena itulah kemudian kita pantas berpesta di hari yang dinamakan Idul Fitri.

Sebuah pertanyaan menyeruak: benarkah aku akan kembali kepada fitrah beberapa hari menjelang?

Sebuah pertanyaan yang amat sulit kujawab dengan keterbatasan kemampuanku sendiri. Aku pun kemudian mengingat beberapa ceramah yang pernah kudengar dulu. Satu hal yang cukup sering kudengar adalah bahwa kita akan kembali kepada fitrah selayaknya seorang bayi yang baru lahir.

Iya kah? Entahlah. Yang pasti di kepalaku lalu tercetus lagi pengertian kata fitrah itu sendiri. Setahuku sih, kata fitrah paling utama disebut ketika Tuhan menerangkan kepada para malaikat ketika Ia ingin menciptakan kita: menjadi khalifah di muka bumi. Untuk itulah kemudian segala alam ditundukkan sehingga manusia dapat menggunakan pikirannya dan mengelola alam dengan baik. Diciptakanlah Sunnatullah alias hukum yang menjaga keteraturan pola interaksi kita dengan alam. Gaya gravitasi, aliran udara, bibit yang ditanam lalu disirami dan akhirnya tumbuh menjadi tanaman, air yang mengalir dari atas ke bawah, sampai pada kehidupan sosial seperti aksi-reaksi, kebaikan akan mendatangkan kebaikan begitu pula sebaliknya, dsb. Belum lagi fitrah sebagai laki-laki dan perempuan. Eit, bukan masalah perbedaan derajat loh. Tapi kenyataannya, aku tidak bisa hamil dan melahirkan bagaimanapun inginnya aku. Dilihat secara rata-rata, laki-laki juga memang punya karakter yang berbeda dengan perempuan. Jika dengan perbedaan itu kemudian keduanya harus saling melengkapi dan bersinergi itu juga fitrah.

Dari sini aku kemudian melihat puasa yang kujalani sebulan belakangan. Puasa salah satunya berarti menahan lapar, dahaga dan hubungan seksual. Ketiganya adalah kebutuhan fisik yang mutlak harus dipenuhi. Namun selayaknya kebutuhan, tentu sudah ada kadarnya. Makan kekenyangan ditambah gizi buruk dan tidak seimbang, minumlah sebanyaknya plus tanpa mempedulikan jenis cairan yang masuk, maka tubuh akan bekerja lebih keras dan tunggulah penyakit yang akan muncul. Pun dengan hubungan seksual, kadar yang berlebihan maupun kekurangan pastilah akan berpengaruh terhadap hubungan kasih sayang yang terjalin. Satu sisi, puasa mengajarkan kita yang berlebihan memenuhi itu semua agar kembali kepada fitrah takaran yang sebenarnya diperlukan. Sisi lain, ia juga membuat kita yang kekurangan agar starving dan hendaknya menambah hingga pas kadarnya.

Hal yang sama juga berlaku untuk puasa emosional dan spiritual. Agama yang masternya keseimbangan ini memang selalu mengajarkan agar kehidupan berjalan sesuai proporsinya. Yang suka marah hendaknya menahan, yang kurang tegas hendaknya lebih asertif. Sebab bukanlah sabar namanya jika ditampar pipi kanan lalu diberikan pipi kiri. Sabar adalah menangkis serangan yang mungkin akan menyakiti kita, walaupun tidak selalu harus membalas. Yang jarang menghadap Tuhan, diberikan lingkungan yang amat kondusif untuk melatih diri. Yang sudah cukup banyak ibadahnya, diingatkan untuk menjadi saleh secara sosial pula.

Berpikir seperti ini, aku pun bertanya-tanya sendiri: bisakah aku menggapai fitrah beberapa hari lagi?

Read more!
posted by Rumah Kiyut 6:59 AM   0 comments
 
0 Comments:
Post a Comment
<< HOME

Wednesday, October 18, 2006
Yang Terbuang dan Tersia-sia
Kemarin sore, aku membantu rekan-rekan kantor yang menjadi panitia peringatan Nuzulul Qur'an. Acara hampir dimulai, aku pun duduk sejenak di samping seorang rekan sembari menunggu para peserta berdatangan. Rekanku ini kukenal sebagai seseorang yang amat bersemangat ikut dalam berbagai kepanitiaan. Sudah tidak terhitung lah partisipasinya setahun belakangan ini. Dalam kepanitiaan kali ini pun, aku mengamati ia sepertinya memegang peran yang cukup besar sekalipun banyak rekan-rekan lain yang lebih senior. Obrolan pun berlanjut, aku iseng bertanya kepadanya, "Acaranya apa aja sih sore ini?"
Ia menjawab, "Nggak tahu. Itu urusannya si A (sebutlah demikian)."
Aku sedikit heran, orang dengan peran seperti dia mengakui tidak tahu paling tidak garis besar acaranya? "Masak sih nggak tahu?" tanyaku lagi
"Bener, nggak tahu. Aku kan kebagian ngurus pembagian santunan dan urusan yayasan anak yatimnya. Ya aku nggak tahu acaranya akan seperti apa," jawabnya lugas.

Sejenak kemudian ingatanku kembali pada setahun yang kujalani bersama rekanku ini sebagai satu tim. Ia memang punya semangat untuk bekerja yang tinggi. Impiannya yang kutahu hanya satu: setiap pekerjaan yang diberikan harus diselesaikan. Termasuk request untuk ikut dalam berbagai kepanitiaan. Hasrat berprestasinya yang tinggi membuatnya tidak bisa mengatakan 'tidak' pada sebuah tawaran, meskipun kupikir-pikir tidak semua dijalaninya dengan enjoy.

Nah, itu dia! Kupikir-pikir lagi, sepertinya hampir selalu muncul keluhan setiap kali ia mengerjakan sesuatu. Ia memang mencurahkan tenaganya, namun amat jarang mencurahkan hatinya. Ia menyelesaikan pekerjaannya, hampir tanpa ada emosi dan rasa kepemilikan di dalamnya. Pengalamannya memang banyak--karenanya peluang belajarnya pun banyak--namun ia hanya fokus pada tugas yang harus ia selesaikan, sehingga hampir tidak bisa menikmati hasil kerja secara keseluruhan.

Mengingat hal ini, aku pun tiba-tiba terpikir akan diriku sendiri. Tidak puas dengan tempat kerjaku, aku segera mencari peluang lain, padahal belum banyak yang bisa kutawarkan dari diriku. Kurang puas dengan satu organisasi ketika kuliah dulu, aku pun pergi mencari tempat lain yang lebih menarik. Kurang cocok berhubungan dengan satu orang, segera saja aku memutuskan untuk mencari yang lebih pas (ups...).

Hmm...padahal pagi ini aku membaca sebuah buku tulisan Warren Bennis, Leaders. Satu hal yang amat menamparku: para pemimpin besar tidak pernah terpengaruh dengan hal-hal di luar dirinya. Sebutlah itu mood, lingkungan yang tak bersahabat, peluang yang sempit untuk berkembang, kondisi ekonomi yang sulit, dan kawan-kawannya. Justru keadaan yang tidak menyenangkan adalah 'ladang amal'--pinjam istilahnya ya A'--untuk mengembangkan dan membuktikan kualitas kepemimpinannya.

Aku pun berpikir, sudah berapa banyak peluang belajar yang kulewatkan hanya karena aku belum bisa menundukkan diriku sendiri? Berapa waktu yang kubuang sebab aku tidak pernah menghargai setiap detik yang lewat di hadapanku? Berapa banyak tenaga yang tersia-sia hanya untuk mengeluh dan tidak berbuat apapun?

Hmm...saatnya untuk berubah...

Read more!
posted by Rumah Kiyut 8:28 AM   2 comments
 
2 Comments:
  • At 5:26 PM, Blogger mukuge said…

    Way to go :))

     
  • At 11:24 AM, Anonymous Anonymous said…

    ehmm I think I can guess who is your friend...

    great story honey...

     
Post a Comment
<< HOME

Monday, October 16, 2006
Bulan Orang Terpinggirkan
Semalam aku buka puasa bersama keluarga di salah satu warung nasi kapau di kawasan Senen. Lama tak makan disana, aku tidak menyangka jika di bulan puasa, weekend pula, warung itu begitu ramai. Nyaris saja kami tidak mendapatkan tempat duduk. Untunglah, setelah sedikit bergerilya, ada beberapa orang yang bersedia meluangkan tempat duduknya bagi kami. Sembari menunggu datangnya pesanan dan waktu buka, aku pun mengamati keramaian yang terjadi. Para karyawan warung yang amat sibuk melayani pesanan, pengunjung yang memesan dengan suara keras agar lekas terdengar, lalu lalang orang mencari tempat duduk, beberapa orang yang berinisiatif untuk mengambil pesanannya sendiri, seorang ibu yang sibuk berdiskusi dengan anaknya tentang menu yang akan dipilih, tukang parkir yang penuh semangat mencarikan tempat bagi mereka yang baru datang, sampai beberapa calon pengunjung yang membuka jendela mobil dan menatap putus asa pada meja-meja yang telah penuh sesak itu.

Radio pun dinyalakan, mengantarkan suara adzan maghrib. Sebagai pengunjung, segeralah aku menikmati segelas teh es manis (demikian orang Minang menyebut es teh) yang telah berhasil kudapatkan. Suara-suara kelegaan muncul dari para pengunjung, diiringi oleh beberapa teriakan meminta pesanannya cepat-cepat dihidangkan. Semakin sibuklah para pelayan yang sebenarnya telah sejak tadi bergerak dengan amat cepat. Tak ayal lagi, gerakan mereka pun menjadi pusat perhatianku. Disaat aku sedang mencari kursi, mereka harus sigap dan berkeringat mengurusi pesanan. Ketika aku menikmati guyuran teh es yang melewati kerongkongan, mereka harus lebih sigap lagi agar para pelanggannya tidak menunggu terlalu lama. Mereka amat paham bahwa banyak orang lapar sedang menunggu, justru di saat mereka sendiri juga sedang kelaparan.

Aku pun merasa pantas untuk tersenyum melihat orang-orang dengan semangat tinggi ini. Ya, di bulan yang setiap niatan baik dihargai sebagai ibadah ini mereka mendapatkan 2 macam rezeki. THR tidak mereka dapatkan dari kebaikan perusahaan, melainkan keringat mereka sendiri. Limpahan pahala kebajikan mereka raih dari keikhlasan gerak menyuguhkan buka puasa.

Senyum ini tidak berhenti setelah aku selesai makan. Tempat parkir yang sulit membuat harga parkir yang tidak standar menjadi pantas menurutku. Keluar dari tempat parkir, jalanan yang padat mendatangkan seorang lagi membantu mobilku untuk menyeberang jalan. Sekali lagi aku pun merasa pantas untuk memberinya tarif lebih dari seorang pak ogah biasa. Berjalan merambat, aku baru menyadari kalau sepanjang jalan Kramat ternyata ada cukup banyak penjual penganan ringan yang berjajar, juga tidak kekurangan pengunjung.

Subhanallah! Bulan apa ini yang menyediakan begitu banyak limpahan rezeki seperti ini? Mereka yang biasanya terpinggirkan kini justru menjadi tumpuan harapan orang-orang berduit yang sedang kelaparan bin tidak sabaran. Pantaslah kiranya, sang manusia mulia suatu kali mensabdakan, "Jika manusia tahu keutamaan bulan Ramadhan, niscaya mereka akan meminta semua bulan dijadikan Ramadhan." Aku baru sedikit memahaminya sekarang...

Read more!
posted by Rumah Kiyut 7:14 AM   1 comments
 
1 Comments:
  • At 10:10 PM, Anonymous Anonymous said…

    hai te ... hehehe gue barusan baca2 blog lo. bagus tuh ... belajar melihat hidup dari sisi lain. jieh bahasanya. ya iyalah, kalo lo liat blog gue .. hedonis banget! heheh .. maen2 ke blog gue ya. kapan nih kita jalan bareng?

     
Post a Comment
<< HOME

Friday, October 13, 2006
Kumpul-kumpul Ramadhan

Jika ditanya salah satu hal yang paling menonjol ketika muncul Ramadhan, salah satu jawabannya adalah: kumpul. Para pekerja yang biasanya senang lembur, mulai bekerja dengan efektif sehingga dapat pulang tepat waktu demi berbuka bersama keluarga di rumah ataupun bersama rekan-rekan yang lain. Tidak tanggung-tanggung, seorang rekan bercerita bahwa ia sudah memiliki schedule yang cukup padat untuk acara yang satu ini. Mulai dari dengan alumni sekolah, kuliah, teman kantor, sepupu, panti asuhan, dan lain sebagainya. Mereka yang tadinya jarang ke masjid, menjadi rajin karena para tetangga berbondong-bondong mengajak tarawih berjamaah. Malas mengaji? Tenang saja, sebab pengurus masjid telah menyiapkan paket tadarusnya. Tidak lupa tentunya macam ragam pengajian yang bertebaran dimana-mana, menunggu untuk dipilih--dan dihadiri tentunya.

Banyak orang yang bilang semua kegiatan itu hanyalah euforia Ramadhan belaka. Layaknya selebritis yang segera berganti busana sehari-hari dengan pakaian muslim, kesibukan seperti di atas pun biasanya memang akan hilang seketika begitu Ramadhan usai. Namun demikian, setidaknya ada beberapa pemikiran yang sedikit berbeda mencuat di benakku.

Aku kemudian teringat pengalamanku mengikuti kuliah dosen tamu dari Swedia, pakar Psikologi Lintas Budaya. Bicara tentang kolektivitas, tiba-tiba aku pun melontarkan sebuah pertanyaan yang memunculkan insight bagiku sendiri. Mengapa orang Indonesia yang katanya punya budaya kolektif tinggi amat jarang yang menggunakan nama keluarganya sebagai nama panggilan resmi? Padahal jika diamati, bangsa barat yang konon amat individualistis toh selalu memakai nama keluarganya sebagai identitas. Dosen itu mengakui ia have no idea. Tapi seketika itu sebuah jawaban muncul dengan sendirinya dari kepalaku: bagaimanapun, manusia adalah makhluk kolektif. Kebersamaan dengan orang lain adalah kebutuhan yang tidak mungkin bisa digantikan oleh kesuksesan akibat ambisi pribadi. Kecenderungan untuk terikat pada identitas tertentu adalah kenikmatan yang akan terus dicari meski kekayaan material ada di depan mata.

Itulah sebabnya aku pun kemudian memahami Ramadhan sebagai bulan kolektif. Ya. Islam memang paham betul bahwa manusia dengan segala kesempurnaan (dan juga kekurangannya) memang diciptakan sebagai makhluk sosial. Cobalah mengucilkan seseorang, dan jiwanya akan terganggu secara perlahan-lahan. Inilah mengapa Islam amat menekankan arti berjamaah dalam menjalankan tiap ibadah. Shalat, puasa, zakat, sampai haji adalah tiang keislaman yang semuanya didesain berdasarkan fitrah manusia sebagai ciptaan yang kolektif. Sisi lain, berjamaah adalah pancingan untuk membuat manusia keluar dari zona-nyaman-individual-sesaat dan keluar menjalankan fungsi kekhalifahannya. Sungguh sebuah sistem ibadah yang luar biasa. Sederhana, namun dengan kandungan kompleksitas yang tinggi.


Read more!
posted by Rumah Kiyut 8:32 AM   0 comments
 
0 Comments:
Post a Comment
<< HOME

Thursday, October 12, 2006
Kerja Pengisi Waktu?
Seorang sahabat pernah berujar, "Kerja adalah sambilan pengisi waktu menunggu datangnya waktu shalat." Sesaat, ini sebuah kalimat yang teramat dalam dan menyisakan keharuan buatku. Betapa tidak? Tampak bagiku kecintaan yang begitu dalam pada Kekasih-nya, sehingga selalu muncul kerinduan yang amat sangat dan hasrat yang amat tinggi untuk bertemu. Namun, lebih dalam kupikirkan, kurasa aku kurang sepakat.

Sebagai orang yang awam dalam masalah agama, aku selalu yakin bahwa misi khalifah yang diemban oleh manusia tidak sesempit menjalankan ritual ibadah belaka. Memang, Ia mensabdakan bahwa manusia diciptakan untuk beribadah, hanya saja kemudian Ia pun mengajarkan melalui manusia pilihannya bahwa senyum, mencari nafkah, membantu tetangga, dan kegiatan non ritual lain juga adalah ibadah. Barangkali karena hal-hal yang kusebut belakangan memang tidak memiliki standar yang baku maka statusnya sebagai sebuah penyerahan diri kepada Penciptanya kurang dihargai oleh kebanyakan orang. Justru kita shalat agar kita bekerja dengan niat yang lurus layaknya syahadat, totalitas yang tinggi laksana khusyuk, tempo yang terjaga seperti tuma'ninah, dan diakhiri dengan manfaat yang dibagikan pada banyak orang bagaikan syahadat saat takhiyat dan salam. Shalat 5 waktu telah dirancang sesuai dengan keterbatasan manusia untuk memfokuskan energi dan pikirannya, karena itulah perlu di-refresh lagi.

Ritual yang dijalani dengan penuh kekhusyukan memang nikmat, namun tentu lebih nikmat jika ia mampu membuat kita bekerja secara profesial dan berguna bagi dunia yang Ia ingin kita tundukkan. Lagi-lagi, keshalihan spiritual harus mewujud dalam keshalihan sosial.

Read more!
posted by Rumah Kiyut 7:38 AM   0 comments
 
0 Comments:
Post a Comment
<< HOME

Wednesday, October 11, 2006
Lailatul Qadr, Sebuah Penguat?
Dari dulu aku selalu penasaran dengan Lailatul Qadr. Sebuah konsep yang sedikit abstrak memang, sebab belum ada 1 orang pun yang kukenal ataupun kubaca mengaku pernah benar-benar mengalami malam yang ajaib ini. Sebagai malam yang punya 'kasta' amat tinggi, ia memang diceritakan memiliki berbagai keistimewaan. Sebutan "Malam Seribu Bulan" pun disandangkan kepadanya karena konon ia memiliki nilai yang sama dengan seribu bulan jika ia datang dan mendapati kita sedang bersujud kepada Pencipta-nya.

Banyak sudah ceramah yang menuturkan padaku bagaimana kita bisa mengira-ngira dan mendapatkan malam yang langka ini. Ada yang mengatakan, kita harus banyak beribadah di malam ganjil, sebab Tuhan menyukai yang ganjil. Ada juga yang mengatakan tanggal 17 Ramadhan, karena konon pada tanggal itulah Al Qur'an pertama kali turun--sesuatu yang kemudian kuragukan kebenarannya. Ada lagi yang menekankan malam-malam ganjil namun secara lebih spesifik ada di 10 hari terakhir bulan Ramadhan. Yang terakhir ini salah satunya didasarkan pada kebiasaan Nabi yang semakin khusyuk bermesraan dengan Kekasih-nya di 10 hari terakhir.

Sebagai orang yang memang tidak ahli dalam pengetahuan agama, aku meyakini bahwa Tuhan tidak mungkin menciptakan agama ini hanya untuk orang-orang yang pandai saja. Sebabnya, Dia toh menciptakan manusia dengan tingkat pemahaman yang berbeda-beda. Memang sih kita diperintahkan untuk selalu 'membaca', namun pastilah ini dalam konteks keterbatasan masing-masing. Sah-sah saja kemudian jika Lailatul Qadr dipahami sebagai sesuatu yang bersifat fisik, satu malam yang memang menunjukkan tanda-tanda turunnya jutaan malaikat ke bumi seperti langit yang cerah dsb. Bagi beberapa orang, pemahaman yang konkrit seperti ini memang membuat mereka lebih mudah untuk meyakini kebenaran adanya malam mulia ini. Hitung-hitungan keutamaannya pun dikerjakan secara detil sehingga malam seribu bulan diartikan sebagai kurun waktu sekitar 80-an tahun.

Nah, sebab inilah yang kemudian membuatku berani untuk mencerna Lailatul Qadr menurut keterbatasan kemampuanku. Aku melihat bahwa keberadaan malam ini adalah salah satu bentuk reinforcement yang diciptakan Tuhan untuk membuat setiap orang selalu memaksimalkan setiap malam Ramadhan. Secara teori, sebuah penguat akan efektif ketika kedatangannya tidak bisa diduga oleh si penerimanya. Berdasarkan mindset bahwa ibadah spiritual adalah cara Tuhan untuk mendidik manusia secara sosial, demikian juga yang terjadi dengan Lailatul Qadr. Malam mulia hanya diperuntukkan bagi manusia yang mulia, manusia yang tunduk pada Penciptanya pada setiap detik yang dijalani. Manusia yang memancarkan kebeningan pada cahaya wajahnya disebabkan oleh kemerdekaan yang telah diraih. Kemerdekaan yang didapat dari kepasrahan dan komitmen total kepada aturan main Penciptanya. Inilah sebabnya malam mulia ini diumpamakan sebagai seribu bulan. Kata seribu tidak hanya harfiah dalam arti jumlah, ia juga mengandung makna kemungkinan tak terbatas untuk memberi dan berbagi. Tidak lagi muncul sedikit pun kekikiran, sebab yang ia miliki tak lagi terbatas.

Read more!
posted by Rumah Kiyut 7:28 AM   0 comments
 
0 Comments:
Post a Comment
<< HOME

Tuesday, October 10, 2006
Kaya Fisik, Kaya Spiritual
Akhir pekan lalu aku berjalan-jalan di sebuah pusat perbelanjaan besar. Sampai disana jam 10, kondisi pertokoan masih cukup lengang. Kulihat sekeliling, tampak beberapa toko masih tertutup rapat, belum menunjukkan tanda-tanda penghuni yang siap melayani pelanggan. Keadaan berubah 30 menit kemudian, ketika tiba-tiba tempat itu diserbu oleh pengunjung yang luar biasa banyaknya. Cukup sulit buatku untuk berjalan berkeliling. Belum lagi ketika aku bermaksud mengambil uang di ATM, antriannya panjang luar biasa. Mataku semakin terbelalak ketika aku mengendarai mobil untuk pulang, kulihat ratusan orang berjalan di koridor busway, semuanya berjalan cepat dengan wajah seolah siap memborong belanjaan.

Kejadian seperti ini memang bukan fenomena yang aneh pada bulan puasa. Ketika anjuran untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas ibadah semakin kencang bergaung, ketika itu pulalah peningkatan jumlah orang yang thawaf mengelilingi mal-mal semakin bertambah. Rasa penasaranku muncul ketika kuingat bahwa Rasulullah mengajarkan kita untuk memiliki pakaian tidak lebih dari 7 stel saja. Terlepas dari koleksiku yang juga jelas lebih dari itu, sebuah pencerahan muncul di benakku. Memiliki pakaian dalam jumlah yang cukup akan menguntungkan dalam 2 hal. Pertama, jumlah tersebut cukup untuk 7 hari dalam seminggu. Pertanyaan mungkin muncul: masak make pakaian yang sama setiap minggu? Jawabannya jelas: so what? Islam memang mengajarkan manusia untuk kaya dan indah secara batin, dan sejauh mungkin menghindari keindahan lahiriah saja. Mengenakan pakaian yang sama berarti mengajak diri untuk melupakan apa yang kita pakai, dan menyelam lebih ke dalam untuk mengurai kekayaan batin. Ya, melupakan yang membungkus kulit, kemudian meresapi apa yang ada jauh di dalam kulit. Keuntungan kedua, dengan membiasakan diri untuk hidup cukup, rezeki yang telah diterima tentu akan bisa lebih efektif dan efisien digunakan. Bayangkan saja, berapa jumlah THR yang bisa dihemat jika kita tidak menggunakannya untuk membeli baju baru (lebih dari 1 stel lagi!) karena baju yang lama masih amat pantas untuk dikenakan. Seingatku, Nabi mulia itu hanya mengatakan pada kita untuk mengenakan pakaian yang baik ketika berhari raya, bukan pakaian yang baru. Kalaupun ingin membeli baju baru, maka sumbangkanlah baju yang lama. Jadilah baju lama itu tabungan akhirat. Nah, kembali lagi nih ke kekayaan spiritual.

Yap, seharusnya setelah lebaran kita memang bisa menjadi kaya dalam 2 bentuk. Secara fisik, sebab kita telah berhasil menahan pengeluaran yang biasa muncul dalam bulan-bulan biasa. Secara spiritual karena Tuhan menyediakan ganjaran yang berlipat ganda akibat perbuatan kita menyumbang ta'jilan, zakat fitrah, zakat mal, juga infaq dan sedekah setiap malam shalat tarawih. Bukan hanya pahala yang kita dapat, tapi juga kejernihan ruhani yang muncul akibat detoksifikasi qolbu yang kita jalani. Nah sekarang, bayangkan kekayaan yang bisa kita tumpuk jika 1 bulan yang dahsyat ini kita kloning pada 11 bulan berikutnya...

Read more!
posted by Rumah Kiyut 9:00 AM   0 comments
 
0 Comments:
Post a Comment
<< HOME

Monday, October 09, 2006
Mengurai Takdir
Seminggu yang lalu aku menonton sebuah film berseri dari Taiwan. Bukan hal yang menjadi kebiasaanku memang, namun di dalamnya aku menemukan sebuah pelajaran tentang kejernihan. Salah seorang tokoh utama diceritakan menderita kanker hati stadium lanjut dan divonis hanya memiliki sisa umur 3 bulan lagi. Ia yang juga adalah seorang GM sebuah perusahaan besar sekaligus anak dari sang pemilik sedang menjalani karir yang amat menjanjikan ketika itu. Di tengah keputusasaanya, satu kali ia bertemu dengan seorang perempuan gemuk yang bekerja di kantornya sebagai cleaning service. Kisah menarik muncul ketika si GM bertanya tokoh kocak ini, "Apa yang ingin kau lakukan jika kau tahu kau hanya punya sisa umur 3 bulan lagi?" Si perempuan pun menjawab, "Membahagiakan orang-orang yang kucintai, melakukan perbuatan baik yang tidak pernah kulakukan sebelumnya, dan tentu saja mencari pacar kalau memang belum punya." Belum selesai senyum tersunggi di bibir si GM, perempuan itu pun melanjutkan, "Tapi apa bedanya punya sisa umur 3 bulan lagi, 3 tahun lagi, atau pun 30 tahun lagi? Orang yang sehat pun tidak pernah tahu kapan ia akan mati. Hari ini, besok, atau tahun depan, juga tidak ada bedanya. Tidak ada yang menjamin kita yang merasa kuat tidak mati sore ini. Jadi ya, apa yang akan kulakukan hari ini ya menjalani saja dengan sebaik yang aku bisa."

Sebuah pernyataan menarik yang sekaligus menggelitik pikiranku. Terlepas dari problematika para dokter yang berlagak menjadi Tuhan, cara pandang sang tervonis menjadi hal yang lebih penting untuk dikaji. Sejurus kemudian aku pun teringat pada ajakan Gede Prama untuk menjalani hidup hari ini. Terkesan hedonis? Bisa jadi, jika yang dimaksud adalah sama sekali tidak memikirkan masa depan dan berfokus pada apa yang ada di hadapan. Gaya hidup yang belakangan memang merusak jika tidak diimbangi dengan pola pikir antisipatif yang mendalam, namun mindset terlalu banyak memikirkan masa depan juga membuat kita menjadi orang yang paranoid.

Benar bahwa Tuhan menciptakan yang namanya takdir. Konon, setiap hal yang akan kita lalui telah ditakdirkan semenjak ruh kita ditiupkan ketika dalam kandungan dulu. Hanya saja, terlalu sering seseorang berpikir ia telah mencapai takdirnya hanya ketika ia merasa telah kepentok dan belum terlihat adanya tanda-tanda jalan keluar.

Bagiku, cerita dalam film tadi setidaknya mengingatkanku akan satu hal: Tuhan tidak pernah memberitahu 1 orang pun di dunia ini tentang takdirnya. Implikasinya? Kitalah yang seharusnya mengeset takdir kita sendiri. Meminjam istilah kepemimpinan, takdir tidak lain adalah visi alias tujuan akhir yang kita inginkan dalam hidup. Sebagaimana layaknya sebuah visi, ia harus dijabarkan dalam langkah-langkah nyata untuk mencapainya. Alih-alih takut kepadanya, "Menjalani sebaik yang aku bisa" takdir hanyalah sahabat yang bermaksud mengantarkan kita menyelam ke dalam diri, mencari kesempurnaan yang lama jauh terpendam. Mencermati setiap detik yang kulewati, setiap hal yang tampak di oleh mataku, setiap hal yang indah kusentuh dengan ujung jariku, setiap suara yang kudengar merdu di telingaku, tidak mungkin Tuhan menciptakan semuanya untuk dilewati tanpa suka cita. Ia menjadikan takdir sebagai pemandu, agar setiap detil yang Ia ciptakan bisa kita nikmati dan syukuri.

"Ia yang mengenal dirinya, akan mengenal Tuhannya," ujar Jalaludin Rumi suatu kali. Perjalanan mengurai takdir menjadi tamasya ruhani akan menjadikan setiap wajah cantik untuk dilihat, setiap suara merdu untuk didengarkan, dan setiap rasa nikmat untuk diresapi.

Read more!
posted by Rumah Kiyut 8:14 AM   0 comments
 
0 Comments:
Post a Comment
<< HOME

Friday, October 06, 2006
Anakku, Seandainya...
Belakangan aku banyak memperhatikan tingkah laku anak-anak. Baru saja kutemui seorang anak yang kedua orang tuanya tampak sebagai orang baik buatku. Menurut penilaianku, anak itu cukup cerdas dan enerjik. Hanya saja, seperti ada yang berlebihan dalam kenakalannya. Nakalnya tida lagi masuk kategori "ono akal" alias cerdik menurut orang Jawa, melainkan sudah sampai pada tahap ketidaksopanan dan kontrol diri yang amat lemah. Ia sering memukul ibu atau baby sitter-nya tanpa ampun. Hanya sang ayah saja yang mampu menundukkannya, itu pun akan kembali lagi jika sang ayah tidak di rumah. Sekilas, tidak ada yang salah dengan kedua orang tuanya. Keduanya juga mengajarkan ilmu agama yang cukup baik. Entah mengapa sang anak amat sulit mengikuti ajaran orang tuanya.

Tak lama aku pun teringat pertemuanku dengan seorang anak lain setahun yang lalu. Bocah yang belum bisa bicara dan berjalan dengan tegak itu tampak memiliki wajah yang bersinar dan selalu tersenyum. Sang ibu mengatakan, anaknya hampir tidak pernah menangis, kecuali sedang sakit ataupun benar-benar lapar. Kebanyakan ia selalu menyapa siapapun dengan senyumannya yang menawan. Amat berlainan dengan anak kenalanku yang pada usia yang sama selalu memasang tampak 'jutek' kepada orang lain.

Aku termasuk orang yang amat yakin bahwa manusia selalu bisa berubah. Hanya saja, bukti yang kutemukan pada anak-anak tersebut membuatku berpikir bahwa sumbangan natural yang sudah dianugerahkan oleh Tuhan tampaknya memiliki peran yang tidak sedikit. Mengapa ada anak-anak yang nakal secara berlebihan sementara orang tuanya demikian baik? Siapa yang mengajarinya sedangkan di sekolah ia tidak memiliki teman yang senakal itu? TV kah? Bisa jadi, namun jika dilihat anak yang selalu menampakkan senyuman ramah pada setiap orang sementara ia bahkan belum bisa bicara dan berjalan, siapa pula yang mengajarinya?

Pertanyaan-pertanyaan itu sedikit terjawab belakangan ini. Disebutkan bahwa bagaimana seorang anak dibesarkan dalam kandungan ternyata amat mempengaruhi bagaimana jadinya bahan dasar si anak sebelum belajar di dunia yang sebenarnya. Itulah sebabnya sebuah ajaran lama menasihatkan pada para ibu untuk amat berhati-hati dalam bertingkah laku selama mengandung sang anak. Perasaan yang muncul, entah itu kegembiraan, kebencian, kekesalan, dsb akan menjadi 'pelajaran' pertama bagi anak di dalam kandungan. Belum lagi kemudian aku teringat sebuah ajaran agama bahwa rezeki yang halal akan menjadikan daging yang baik bagi tubuh sedangkan rezeki yang haram akan menjadikan daging yang buruk.

Selidik punya selidik, ayah si anak nakal tadi tampaknya memiliki rezeki yang kurang jelas datangnya. Di tempat kerjanya, memang hal itu wajar-wajar saja, karenanya ia tetap merasa penghasilannya halal. Sedangkan anak dengan senyuman menawan tadi rupanya dibesarkan dalam kandungan oleh ibu yang mengkhatamkan Al Qur'an setiap bulannya. Mendengar hal tersebut aku pun menjadi cemas sekaligus gembira. Gembira karena aku bisa secara sadar tahu bagaimana caranya memiliki anak yang sudah memiliki bekal untuk menjadi orang shaleh. Cemas karena begitu banyak hal-hal yang tidak jelas bisa masuk dalam aliran darah justru tanpa disadari. Sewajarnya manusia, rasa takut muncul dari hal-hal yang di luar jangkauannya. Aku gembira karena aku masih memiliki kemungkinan besar untuk memiliki anak yang jauh lebih baik dariku. Aku cemas karena bisa jadi banyak hal yang kujalani sekarang tidak memungkinkanku memberikan rezeki yang tidak jelas padanya kelak.

Oh, semoga Allah memberiku tangan yang mampu menjangkau hal-hal ini...

Read more!
posted by Rumah Kiyut 11:54 AM   0 comments
 
0 Comments:
Post a Comment
<< HOME

Thursday, October 05, 2006
Tuhan Yang Romantis

"Bacalah," firman-Nya pada sang manusia mulia. Satu kata yang cukup mengagetkan sebab manusia mulia itu tidak mampu membaca sekalipun kecerdasannya luar biasa. Tidak demikian harfiah rupanya makna satu kata itu, melainkan ingin mengajak kita untuk bertamasya mengarungi indahnya samudera ilmu. Ya, ketakwaan akan memunculkan cinta. Manusia butuh untuk mencintainya, dan cinta akan tumbuh bersemi dalam perjalanan mengurai satu demi satu kecantikan tiap ciptaan-Nya. Membaca yang Ia ajarkan adalah melihat, mendengar, merasakan, kemudian mengurai dan merangkainya menjadi makna baru. Selayaknya orang yang dimabuk cinta, Ia ciptakan segala sesuatunya sempurna bagi mereka yang Ia cintai.

"Wahai manusia yang berselimut," panggil-Nya satu kali pada sang manusia mulia. Seolah memanggil sang kekasih dengan ungkapan yang begitu lembut, menyentuh. Membangunkannya di malam yang sunyi, demi menenangkan hatinya yang gundah setelah sekian lama tak bersua. Dijanjikan-Nya surga bagi tiap orang yang setia pada cinta-Nya, membela ajaran-Nya, rela mati demi-Nya. Sesekali memang Ia marah, tapi kudengar, rahmat-Nya mendahului murka-Nya.

"Wahai orang-orang yang beriman," seru-Nya pada berjuta kekasih yang bertebaran di muka bumi. Mereka bukanlah manusia biasa, mereka orang-orang yang cinta mati kepada-Nya. Demikianlah hakikat keimanan, ia meyakini, memasukkan ke dalam lubuk hati, dan menjadikannya mengalir dalam darah serta mewujudkannya dalam gerak laku. Manusia-manusia seperti ini tidak selayaknya dipanggih dengan sebutan "Wahai manusia", "Wahai orang-orang beriman" adalah panggilan yang penuh kasih sayang.

Sebagaimana seorang kekasih selalu ingin merawat dan menjaga kekasihnya. Ia ciptakan beragam ritual untuk menjadikan sang kekasih bersih, sehat, dan selalu indah. Syahadat adalah janji setia sehidup semati. Shalat adalah kencan berdua untuk memadu cinta. Puasa adalah ibadah rahasia, layaknya dua kekasih yang memiliki rahasia mereka sendiri. Puasa pula yang membersihkan sang kekasih dari kotoran-kotoran yang menutupi kemurnian cinta. Zakat adalah cara-Nya mempertautkan jutaan kekasihnya dalam bingkai persaudaraan. Haji adalah pesiar pengabdian total. Dengannya Ia menjadikan sang kekasih lebih kuat dan matang. Demikianlah, Ia membuat semuanya seimbang. Terkadang Ia bermesraan berdua, terkadang ia kumpulkan semuanya untuk menikmati saat-saat itu bersama. Sang kekasih tidak perlu cemburu, sebab selalu ada banyak waktu untuk bercumbu, sedang cinta-Nya tidak terbatas dan terasa amat personal.

Hmm...kuresapi setiap hal yang Ia ajarkan, kurasakan ia adalah Tuhan yang romantis...

Read more!
posted by Rumah Kiyut 8:17 AM   0 comments
 
0 Comments:
Post a Comment
<< HOME

Wednesday, October 04, 2006
Mengasah Mutiara
Sejenak kuteringat kisah Imam Syafi'i. Satu hari ia sedang duduk merenung dan menulis di pinggir sebuah sungai. Syafi'i muda yang amat bersemangat mencari dan mengeksplorasi ilmu itu konon menghabiskan seluruh uangnya untuk mencari ilmu sampai pernah memakan makanan sisa. Beberapa jam di tepi sungai ia tiba-tiba melihat sebuah apel mengambang mengikuti aliran air. Seketika perutnya pun mengisyaratkan bahwa ia menginginkan buat segar itu. Sang Imam pun mengambil buah tersebut dan memakannya. Kebiasaan bersyukur membuatnya amat menikmati hidangan tiba-tiba tersebut. Selesai makan, ia pun kembali duduk serius berkonsentrasi melanjutkan pencariannya. Sebuah keheranan muncul, beragam ide yang tadinya mengalir dengan deras tiba-tiba tersumbat tidak mau keluar. Ia segera tersadar, barangkali apel yang dimakannya tadi jatuh dari pohon milik seseorang yang tumbuh di dekat sungai. "Aku telah memasukkan hak milik orang lain ke dalam tubuhku!" pikirnya. Kisah pun berlanjut dan mempertemukan ia dengan seorang istri yang luar biasa cantik dan shalihah.

Cerita yang mirip datang dari Abul A'la Al Maududi. Hanya saja, ini bukan ulama terkenal tersebut, melainkan seorang remaja dengan hafalan Qur'an luar biasa asli orang Indonesia yang pernah kubaca di majalah. Ia bertutur, pernah suatu kali ia merasakan amat sulit menghafal ayat-ayat Al-Qur'an padahal biasanya selalu mudah. Disadarinya ketika itu, ia terlalu banyak menonton serial Power Rangers. Segeralah dihentikan kebiasaan itu dan kemampuannya pun kembali seperti semula.

Satu pelajaran yang kupetik dari keduanya: hidayah itu bagaikan mutiara yang belum terasah. Kebiasaan buruk akan membuatnya kusam dan terbuang sekiranya orang tidak menyadarinya. Kebiasaan baiklah yang akan menjadikannya kembali bercahaya. Kuharap puasaku bisa mengikis debu yang menutupi cahaya yang telah dianugerahkan-Nya kepadaku.

Read more!
posted by Rumah Kiyut 7:57 AM   0 comments
 
0 Comments:
Post a Comment
<< HOME

Tuesday, October 03, 2006
Bercermin
Aku tidak terlalu cocok dengan ibuku. Kami memiliki pola pikir, cara kerja, dan gaya hidup yang hampir bertolak belakang. Sekalipun aku tetap menghargainya, aku hampir tidak pernah bisa bertukar pikiran dengannya. Aku juga tidak terlalu cocok dengan beberapa orang temanku. Cara mereka berbicara, berpikir, dan mengambil tindakan terasa kurang pas bagiku. Sekalipun aku tetap bekerja dengan baik bersama mereka, ide-ide unik kreasi bersama tidak pernah keluar dari hasil pekerjaan kita. Begitu juga dengan beberapa orang lain yang baru saja kukenal. Berbicara dengan mereka sebentar aku merasakan ketidakcocokan antara kami. Umumnya sih berkaitan dengan hal yang sama seperti ketidakcocokanku dengan temanku.

Belakangan sebuah pertanyaan mencuat: mengapa aku merasa tidak cocok dengan seseorang? Mungkinkah karena memang sifat yang berlawanan atau justru karena sifat yang sama? Yang pertama memang masuk akal, tapi yang terakhir justru memiliki probabilitas yang lebih besar untuk membuatku merasa kurang klop dengan orang lain.

Aku kurang cocok dengan ibuku, sebab ia terlalu pesimistis, sehingga seringkali memandang rendah kemampuan diri dan orang lain. Ia juga terlalu takut akan setiap resiko--sekecil apapun resiko itu--sehingga selalu cemas dan melakukan berbagai persiapan yang tidak perlu. Baginya, status quo jauh lebih baik dibandingkan kemajuan yang memiliki resiko. Itulah sebabnya ia tidak pernah mau mengambil keputusan. Sekalipun sangat keras kepala dan kuat bertahan dengan pendapatnya sendiri, ia selalu berusaha meminta pendapat orang lain sehingga bukan ia yang mengambil keputusan. Baru-baru ini kusadari, segala sifat yang tidak kusukai sebenarnya adalah sifatku sendiri. Aku pernah menjadi amat pesimistis (dan kadang kala masih sering muncul), takut pada konsekuensi yang belum pasti, tidak terlalu berani menerima tantangan (meskipun sedang belajar kesana), keras kepala, dan yang pasti cukup lama mengambil keputusan. Aku kurang suka dengan cara berpikir kawanku yang terlalu kaku dan kurang inovatif, sebab aku pun amat ingin menjadi seorang yang luwes dan kreatif sekalipun belum bisa sampai kesana. Aku juga tidak suka dengan beberapa orang yang terlalu sembrono dengan orang yang baru dikenal, karena aku juga memiliki sifat serupa yang sedang ingin kukelola.

Satu pelajaran kemudian menimpa kepalaku: berhati-hatilah dengan kebencianmu, sebab ia sejatinya adalah cara Tuhan untuk mengingatkan kita tentang jalan salah yang sedang kita lalui. Ya, emosi adalah semacam alarm yang akan menyentil telinga untuk selalu waspada. Baik membenci maupun mencintai berlebihan akan membuat kita lupa pada masalah yang harus terselesaikan di baliknya. Tidaklah Tuhan menjadikan benci dan cinta melainkan untuk meminta kita untuk bercermin: sudahkah kita menjadi hamba-Nya yang setia?

Read more!
posted by Rumah Kiyut 7:28 AM   0 comments
 
0 Comments:
Post a Comment
<< HOME

Monday, October 02, 2006
Mencari Kejernihan
Seorang sahabat pernah berucap, "Ketika salah satu indera tidak lagi mampu difungsikan, justru kepekaan menjadi meningkat, mampu merasakan hal-hal yang tidak terlihat." Sebuah pernyataan yang hebat dan tidak dapat kusangsikan kebenarannya, sebab sahabatku ini memang orang yang luar biasa. Kuasa Tuhan telah mencabut kepekaan penglihatannya. Ia pun tidak lagi melihat dengan matanya, karena Tuhan telah menggantinya dengan kepekaan nurani. Terbukti, sahabat yang kukenal sebagai seorang yang smart dan bersemangat tinggi itu kini memiliki sesuatu yang berbeda: gairah untuk hidup yang mengagumkan. Sebuah penyakit menakutkan--jika memang ingin dianggap demikian--yang bersarang di kepalanya rupanya menyediakan medan perjuangan yang luas. Ia pun menjalani hidup dengan penuh senyuman dan ekspresi yang tidak pernah kulihat dulu. Dijalaninya keseharian dengan semangat belajar tinggi, diselingi beberapa rekan yang datang silih berganti menjadikannya tempat berbagi. Ya, banyak orang begitu mudah mencurahkan isi hati kepadanya sebab telinga dan hatinya memang menjadi lebih peka sekarang.

Sahabatku yang satu ini selayaknya lebih pantas kusebut sebagai guruku. Mengingatnya semalam mengantarkanku pada puasa yang sedang kujalani. Mengapa ditutupnya mata membuat seseorang lebih bisa melihat ke 'dalam'? "Penglihatan mata hanyalah penglihatan semu dan artifisial," ujar sebuah suara dari dalam. Itulah sebabnya Tuhan menciptakan mata dengan sebuah penutup, sebab ia memang alat pencari bukti yang sekunder. Tidak seperti telinga yang memang diciptakan demikian terbuka. Mata yang digunakan terlalu banyak menjadikan pemahaman kita cenderung dangkal sebab terlalu banyak bukti yang terlihat justru menyesatkan. Ditutuplah ia dan jernihlah maknanya.

Mirip dengan mata, begitu pulalah yang terjadi pada perut. Mengendalikan kemauan perut untuk diisi sejatinya adalah metode untuk mengajarkan manusia esensi dari hidup yang dijalaninya. Sudah jamak kita tahu bahwa beragam kerja dilakukan manusia, mulai dari yang halal sampai yang haram, tidak lain hanyalah untuk memenuhi kebutuhan seputar perut. Bergurulah pada Tuhan tentang puasa, dan kebutuhan sekitar perut ini akan dipaksa untuk dihentikan. Ketika itulah makna yang sebenarnya akan bermunculan dengan sendirinya.

"Keheningan," ujar seorang bijak, "datang untuk membukakan kita pintu kejernihan." Barangkali inilah sebabnya banyak orang mencapai kematang melalui keheningan. Shalat tahajud, meditasi, dan beragam metode perenungan lain umumnya dilakukan pada waktu malam sehingga tampaklah hakikatnya. Demikianlah pula puasa menciptakan keheningan pada perut kita. Dengannya kita dimungkinkan untuk menggapai kejernihan yang dijanjikan: takwa.

Read more!
posted by Rumah Kiyut 7:47 AM   0 comments
 
0 Comments:
Post a Comment
<< HOME

myprofile
Name: Rumah Kiyut
Home:
About Me:
See my complete profile


previouspost
Pindah Blog
Banjir: Bersedih atau Bersyukur?
Learn To Be Trusted
Setengah dan Setengah
Pernikahan Menuju Kebebasan
Bangsa Survival dan Bangsa Inovator
Bakso Bang Eric
Pemimpin Indonesia
Level Cinta
Hari Kemenangan?


myarchives
September 2006
October 2006
November 2006
December 2006
January 2007
February 2007
June 2007


mylinks
Ant'Z
Rumah Kiyut
Priyadi's
Wimar Witoelar's
Taleo's
The Practice of Leadership
HBS Working Knowledge
McKinsey Quarterly
sepatumerah
Negeri Senja
E-Books
Devi's
Marsha's
Celebrating Life
Iyo's
afsyuhud's
TemplatePanic


bloginfo
This blog is powered by Blogger and optimized for Firefox.
Blog designed by TemplatePanic.