teddibelajarbersyukur
Belajar, Bersyukur, Bekerja
 
Wednesday, September 27, 2006
Belajar Memberi
"Makin banyak memberi, makin banyak menerima," begitu kata banyak ungkapan bijak. Di bulan puasa ini, falsafah ini semakin terasa penting sebab bermacam ragam fasilitas telah disediakan guna menjadikan kebiasaan memberi semakin menjamur. Sebutlah buka puasa bersama di setiap masjid, misalnya. Di beberapa komplek perumahan, pengurus masjid biasanya bahkan sudah menyusun jadwal warga yang akan menyumbang hidangan buka puasa agar jumlah yang disediakan pas, tidak kurang tidak lebih. Menjelang berbuka, diundanglah para warga yang merasa membutuhkan untuk berbondong-bondong datang kesana. Orang-orang yang berhasrat menyumbang namun belum kebagian jadwal (dan memiliki banyak dana tentunya) umumnya mengadakan sendiri buka bersama dengan mengundang anak yatim piatu. Selain itu, para pengurus lembaga zakat pun tak kalah serunya dalam kampanye memberi yang satu ini. Beraneka macam paket model pembayaran zakat pun disediakan untuk memudahkan masyarakat menyalurkan hartanya.

Memperhatikan kebiasaan seperti ini menarik bagiku, terutama karena tidak lama setelah Ramadhan selesai kebiasaan ini pun berlalu begitu saja. Tidak heran sih, sebab hanya di bulan puasa lah Tuhan menjanjikan limpahan pahala yang tak terhitung plus dilipatgandakan lagi untuk mendorong manusia agar giat beramal. Masyarakat yang ekonomis tentunya amat sensitif dengan perhitungan untung rugi seperti ini. "Ayo shalat sunnah, kan pahalanya seperti shalat wajib," atau, "Ayo ngaji, kan pahalanya dihitung per huruf lho," demikian yang sering kita dengar.

Bukan pandangan yang salah memang, hanya saja menurutku terlalu sempit. Memang kita umumnya sudah mengalokasikan dana selama setahun untuk disumbangkan pada bulan puasa, tapi menyumbangkan harta kan bukan satu-satunya cara untuk beramal. Bukankah kita diajarkan bahwa senyum itu ibadah? Jauh lebih dalam dari sekedar menyumbang makanan, senyum bahkan bisa mengantarkan ketentraman hati pada orang-orang yang melihatnya. Lalu mengapa pula setelah puasa kita tidak coba untuk berjanji untuk selalu memberikan kesempatan kepada orang lain terlebih dulu ketika berkendara di jalan raya? Bukankah ini juga amal, apalagi jika ternyata orang tersebut memang terburu-buru atau sakit. Mendengarkan orang lain dengan tulus, memberikan dukungan kepada tetangga yang kesusahan, merapikan sandal di pelataran masjid, atau menyingkirkan kotoran dari jalanan dan lain sebagainya adalah ladang amal yang teramat luas dan belum banyak terjamah dibandingkan dengan sumbangan dana dan makanan.

Pada akhirnya, aku tidak sedang mengatakan bahwa sumbangan yang sifatnya fisik itu jelek. Hanya saja, tolok ukur keberhasilan ibadah justru dapat dilihat dari bagaimana ibadah itu membentuk pribadi tiap insan yang menjalaninya. Itulah sebabnya dalam syahadat--titik pertama seseorang beragama--dimulai dengan mengucap nama Allah kemudian diikuti dengan kesaksian terhadap Rasul. Agama yang memerintahkan umatnya untuk berpuasa ini bukan agama 'langit'. Penyembahan kepada Tuhan harusnya melahirkan kemuliaan dalam kehidupan bermasyarakat.
posted by Rumah Kiyut 7:29 AM  
 
1 Comments:
  • At 7:50 AM, Anonymous Anonymous said…

    I love this story!!!

     
Post a Comment
<< HOME

myprofile
Name: Rumah Kiyut
Home:
About Me:
See my complete profile


previouspost
Ramadhan dan Harga Naik
Puasa dan Keberlangsungan Hidup
Mengikis Nurani
Senyum dan Jalan Raya
Sepatu Merah dan Red Shoes
Ketakutan dan Keberanian
Pengalaman Pertama
Bentuk Yang Terbaik
Belajar Bersyukur


myarchives
September 2006
October 2006
November 2006
December 2006
January 2007
February 2007
June 2007


mylinks
Ant'Z
Rumah Kiyut
Priyadi's
Wimar Witoelar's
Taleo's
The Practice of Leadership
HBS Working Knowledge
McKinsey Quarterly
sepatumerah
Negeri Senja
E-Books
Devi's
Marsha's
Celebrating Life
Iyo's
afsyuhud's
TemplatePanic


bloginfo
This blog is powered by Blogger and optimized for Firefox.
Blog designed by TemplatePanic.